Budaya corat-coret pasca ujian
nasional sepertinya masih marak di negeri ini. Terlihat dibeberapa ruas jalan
ramai dipenuhi arak-arakan siswa dengan seragam yang sudah penuh dengan ragam
coretan cat. Tidak sedikit di antara mereka yang melakukan pelanggaran lalu
lintas. Bahkan, budaya ini bukan hanya dilakukan para siswa di jenjang
pendidikan atas saja (SMA/SMK) melainkan telah terlihat diadopsi juga oleh
mereka yang baru menyelesaikan jenjang pendidikan menengah pertama (SMP).
Beberapa
hal sebenarnya telah dilakukan untuk mengurangi kebiasaan ini dengan melibatkan
berbagai pihak. Mulai dari pengarahan oleh pihak sekolah hingga razia lalu
lintas yang melibatkan kepolisian. Seperti tahun ini misalnya, jadwal akhir UN
yang berbeda antara SMA (Rabu/dan SMK juga merupakan cara yang ditempuh agar “perayaan”
corat-coret itu tidak melibatkan seluruh siswa yang ikut ujian secara
bersamaan/serentak. Namun, upaya-upaya ini masih memberikan pengaruh yang kecil
dibandingkan budaya yang entah sejak kapan mempengaruhi pemikiran para siswa
tersebut.
Jika
diperhatikan, corat-coret yang dilakukan para siswa semacam luapan emosional
pasca menjalani ujian yang dianggap sebagai momok yang mengerikan dan penuh
tekanan. Luapan emosional yang tidak terbendung inilah yang akan menghasilkan
ekspresi yang terlampau bebas dan tidak mengindahkan norma yang berlaku di
masyarakat. Seperti sebuah banjir bandang yang tentunya akan menyapu apa saja
yang menghalangi dan tentunya meluap hingga melampai batas pinggiran sungai.
Salah
satu cara yang mungkin layak dicoba untuk mengurangi budaya corat-coret ini
adalah keaktifan pihak sekolah yang mengumpulkan para siswanya pada hari
terakhir pelaksanaan UN. Dengan membuat sebuah kegiatan yang bersifat santai,
menyenangkan diharapkan luapan emosional siswa dapat tersalurkan secara
perlahan. Dalam kegiatan itu pula dapat digugah perasaan para siswa agar kiranya
memilih kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat dalam meluapkan emosional
mereka, misalnya melakukan kegiatan sosial menyumbangkan seragam mereka kepada
yang memerlukan daripada melakukan corat-coret massal.
Terakhir,
kepada para siswa yang tahun ini menyelesaikan pendidikannya di tingkat
menengah atas, saya menasehatkan bahwa kenangan itu terletak pada ikatan emosi
antar pribadi, bukan pada prasasti baju yang penuh dengan coretan. Baju yang
dicoret mungkin hanya akan bertahan 5 tahun, namun ingatan akan kebersamaan
mungkin akan kekal sepanjang hidup.
Be Wise.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar