Rabu, 15 April 2015

CORAT-CORET SERAGAM : SEBUAH BUDAYA ATAU LUAPAN EMOSI SESAAT?

Budaya corat-coret pasca ujian nasional sepertinya masih marak di negeri ini. Terlihat dibeberapa ruas jalan ramai dipenuhi arak-arakan siswa dengan seragam yang sudah penuh dengan ragam coretan cat. Tidak sedikit di antara mereka yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Bahkan, budaya ini bukan hanya dilakukan para siswa di jenjang pendidikan atas saja (SMA/SMK) melainkan telah terlihat diadopsi juga oleh mereka yang baru menyelesaikan jenjang pendidikan menengah pertama (SMP).

Beberapa hal sebenarnya telah dilakukan untuk mengurangi kebiasaan ini dengan melibatkan berbagai pihak. Mulai dari pengarahan oleh pihak sekolah hingga razia lalu lintas yang melibatkan kepolisian. Seperti tahun ini misalnya, jadwal akhir UN yang berbeda antara SMA (Rabu/dan SMK juga merupakan cara yang ditempuh agar “perayaan” corat-coret itu tidak melibatkan seluruh siswa yang ikut ujian secara bersamaan/serentak. Namun, upaya-upaya ini masih memberikan pengaruh yang kecil dibandingkan budaya yang entah sejak kapan mempengaruhi pemikiran para siswa tersebut.

Jika diperhatikan, corat-coret yang dilakukan para siswa semacam luapan emosional pasca menjalani ujian yang dianggap sebagai momok yang mengerikan dan penuh tekanan. Luapan emosional yang tidak terbendung inilah yang akan menghasilkan ekspresi yang terlampau bebas dan tidak mengindahkan norma yang berlaku di masyarakat. Seperti sebuah banjir bandang yang tentunya akan menyapu apa saja yang menghalangi dan tentunya meluap hingga melampai batas pinggiran sungai.

Salah satu cara yang mungkin layak dicoba untuk mengurangi budaya corat-coret ini adalah keaktifan pihak sekolah yang mengumpulkan para siswanya pada hari terakhir pelaksanaan UN. Dengan membuat sebuah kegiatan yang bersifat santai, menyenangkan diharapkan luapan emosional siswa dapat tersalurkan secara perlahan. Dalam kegiatan itu pula dapat digugah perasaan para siswa agar kiranya memilih kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat dalam meluapkan emosional mereka, misalnya melakukan kegiatan sosial menyumbangkan seragam mereka kepada yang memerlukan daripada melakukan corat-coret massal.

Terakhir, kepada para siswa yang tahun ini menyelesaikan pendidikannya di tingkat menengah atas, saya menasehatkan bahwa kenangan itu terletak pada ikatan emosi antar pribadi, bukan pada prasasti baju yang penuh dengan coretan. Baju yang dicoret mungkin hanya akan bertahan 5 tahun, namun ingatan akan kebersamaan mungkin akan kekal sepanjang hidup.


Be Wise.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar