“Saat
kau tak menemukan harapan di daratan. Pandanglah ke arah laut. Kau akan temukan
harapan di ujungnya.”
Lelaki paruh baya itu masih berdiri
di bibir tangkahan. Memandang cakrawala menjingga yang menghantarkan
burung-burung menuju sarangnya. Kulitnya yang hitam terlihat semakin mengilap
manakala memantulkan sinar matahari senja kembali ke udara. Kedua kakinya
menjejak teguh di atas papan tangkahan yang hampir lapuk. Tepat di hadapannya,
sebuah perahu berukuran sedang bergoyang-goyang meningkahi riak ombak kecil
yang menghampiri buritannya. Dengan setengah membungkuk, pandangannya kini
seksama memperhatikan beberapa bagian perahu yang baru diperbaiki. Senyum di
bibirnya menguraikan kepuasan pada hasil yang diperolehnya. Perahu itu kini
telah siap menopang kehidupannya kembali.
Seorang bocah lelaki kemudian terlihat
menyusulnya. Langkah kakinya begitu hati-hati melewati beberapa kayu yang sudah
terlihat tua. Memastikan terlebih dahulu bahwa keputusannya tepat untuk
kemudian menjejakkan kaki dipermukaannya. Langkah langkahnya menghantarkan tepat
disamping lelaki tersebut. Kehadirannya mampu mengalihkan perhatian sang Ayah
dari perahunya.
“Lihatlah, perahu ini telah gagah
kembali. Dia telah siap membawa Ayah kembali ke laut.” Ujarnya seperti bergumam
sembari menepuk pundak sang anak.
Bocah itu hanya terdiam. Sedikit
mendesah tapi tetap tak bersuara. Masih asyik dengan alam pikirannya. Wajahnya yang
menengadah terlihat serius memperhatikan sang Ayah. Menikmati kerinduan seolah tidak
ingin melewatkan satu detikpun kebersamaan bersama Ayahnya. Saat-saat yang
jarang dimilikinya.
Seketika dia menarik nafas dengan dalam dan melepaskannya dengan setengah
menghempas. Seakan merasakan beban yang demikian berat pada perpisahan yang
telah bermain dalam angannya.
“Mengapa Ayah begitu membanggakannya?”
Bocah itu bersuara. Matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang ingin
dimengertinya. Wajah lugunya menuntut jawaban dari sang Ayah demi kerinduannya.
Sebab yang ia mengerti setiap kali Ayahnya melaut merupakan perpisahan baginya.
Perpisahan yang selalu ingin dimengertinya sejak lama. Tak pernah ia mendapati
Ayahnya di pagi hari sebab telah melepaskan tambatan perahu dan mengejar
harapannya di laut saat lambungnya masih akrab di pembaringan. Ia masih terlelap
kala itu. Dan tidak pula mendapatinya di malam hari karena Ayahnya pulang manakala
ia telah kembali terlelap. Lama Ayahnya menghabiskan waktu di laut, menabur
harapan-harapannya. Membawa isinya menepi, dan mempertaruhkan kehidupannya pada
badai yang menyapa. Dia hanya senantiasa merasakan buaian dan senandung Ibunya.
Senandung tentang kehidupan nelayan. Senandung tentang kecintaan pada laut dan
harapan. Dan senandung tentang sang Ayah. Hingga perahu itu kembali berlabuh
dan tertambat di tangkahan ini.
“Perahu itulah yang akan
menghantarkan Ayah pada harapan. Tiang-tiangnya adalah mimpi-mimpi Ayah. Di
dalamnya bertumpu cinta, kehidupanmu dan Ibumu.” Lelaki itu menghela nafasnya.
Dia sama sekali tidak berharap bocah disampingnya mengerti pada ucapannya. Tidak
pula ingin berbagi kerinduannya. Guratan wajahnya memperlihatkan kehidupan sulit
yang tengah dihadapinya, tidak menginginkan hal yang sama diwariskan pula pada putranya.
Kehidupan sulit sebagai seorang nelayan. Hingga ia mengorbankan kerinduannya. Yang
ia yakini bahwa kehidupannya telah ia gadaikan untuk keluarganya. Ia ingin
putranya memiliki kehidupan yang lebih layak. Menyandang gelar pendidikan
tinggi dan bekerja di gedung-gedung besar, dan tidak bergelut dengan ombak
lautan. Setidaknya dia menginginkan anaknya tidak menjadi nelayan seperti
dirinya. Bermain dengan kerinduan hanya akan menjauhkan harapan-harapan itu
darinya.
“Suatu saat, kau akan mewarisi
harapan itu. Seperti Ayah yang harusnya mewarisi lebih dahulu.”
“Bagaimana jika aku tidak menginginkannya?” Lemah suara sang anak seolah
bergumam pada dirinya sendiri.
“Harapan itu telah menjauhkan Ayah dariku.” Suaranya sedikit lebih berat.
Nada kecewa jelas terdengar dari caranya bersuara. Bukan jawaban itu yang
diinginkannya. Jawaban yang tidak menenteramkan kerinduan jiwanya pada kasih
sayang sang Ayah. Hampir saja air matanya jatuh. Sekuat tenaga ia berusaha
menahan perasaannya. Ia tak ingin terlihat lemah dihadapan Ayahnya sebagaimana
Ayahnya yang menyembunyikan kerinduan padanya. Dia merasakan itu.
“Kau tidak mengerti, Irman. Usiamu masih terlalu muda untuk memahami
harapan itu.” Suara Ayah melembut. “Kaulah harapan itu.”
“Laut hanya menjadi tempat di mana harapan itu tumbuh. Dan perahu hanya alat
yang menghantarkan Ayah pada harapan-harapan itu. Sedang harapan itu tetap
tinggal di sini. Kaulah harapan itu, Irman.” Wajahnya menatap lekat pada
putranya. Berusaha menenteramkan kerinduan dua jiwa yang tengah berhadapan.
Menanamkan keyakinan yang sama pada putranya. Mempertaruhkan kerinduan demi
harapan-harapan yang masih dan selalu dirindukan. Harapan tentang kehidupan
yang lebih layak di kemudian hari.
“Kelak, kaulah yang menggapai harapan itu. Tanamlah dimanapun kau ingin
harapan itu tumbuh. Saat kau tak menemukannya di daratan. Pandanglah ke arah
laut. Kau akan temukan di ujungnya.”
Lelaki paruh baya itu kembali menatap perahunya. Pandangannya menembus
papan-papan perahu itu, hingga ke bibir pantai dan merdeka di laut lepas. Sedang
sang bocah masih diam. Masih mencoba mengerti pada jawaban yang baginya masih
menggantung…
*****
Matahari sudah menampakkan sinar
jingganya. Sedang aku masih berdiri di depan jendela menatap keluar rumah.
Pandanganku terarah pada kandang ayam yang belakangan ini penghuninya semakin
sedikit karena telah sering dijual untuk memenuhi kebutuhan kami. Dulu, Ayah
selalu menyempatkan dirinya mengurus ayam-ayam itu di sela-sela waktunya sebagai
nelayan, dan aku akan senantiasa menemani dan memperhatikan apa yang sedang
dikerjakannya. Sesekali aku turut membantu mengambilkan barang-barang yang
diperlukan Ayah.
“Suatu saat, kau tidak perlu lagi
mengurus ayam-ayam ini, Irman. Karena Ayah yakin kau akan bekerja di gedung
yang besar dan megah.”
“Belajarlah dengan rajin, hingga kau
tidak perlu lagi merasakan berkubang dengan ayam atau terobang-ambing di
lautan” demikian Ayah selalu berkata kepadaku. Kenangan itu terus bermain dalam
pikiranku. Menyertakan kerinduan yang amat sangat pada sosok seorang Ayah.
Mungkin Ayah benar bahwa suatu saat aku tidak akan mengurus ayam-ayam itu
karena ayam-ayam itu telah habis terjual. Tapi Ayah juga salah sebab aku tidak
pula pernah mengecap pekerjaan sebagaimana yang diimpikan Ayah. Pekerjaan yang
bisa mengangkat derajat kehidupan keluarga. Aku tidak pernah mendapatkannya. Kepergian
Ayah memutuskan jenjang pendidikanku.
Angin yang berhembus lembut melalui rongga jendela menyapa wajahku.
Kelembutannya mencoba menenangkan kegalauanku tentang keberlangsungan hidup
kami. Aku memperhatikan ibu yang baru saja mengangkat jemuran. Pandanganku
terus mengiringi langkahnya menuju dipan panjang di dapur rumah ini. Tempat
biasa kami berkumpul dan bercanda saat-saat Ayah harus memperbaiki perahunya.
Hingga ia duduk di bibir dipan itu dan membiarkan kakinya menjuntai menyentuh
lantai. Aku masih tekun memperhatikan Ibu yang mulai memilah jemurannya.
“Aku akan melakukannya, Bu.” Tekadku
bulat. Keputusan itu harus ku ambil demi keberlangsungan hidup kami. Tanggungjawab
kehidupan keluarga ini sekarang berada di tanganku, anak lelaki satu-satunya.
“Tapi kau tidak pernah
menginginkannya, Irman.” Ibu mencoba mencegahku. “Kau tidak pernah ingin
mewarisi perahu itu, meskipun kini perahu itu menjadi milikmu.” Ibu menatapku
sesaat, kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali. Tangannya yang sedikit keriput
terlihat masih lincah memilah dan melipat pakaian yang baru diangkat dari
penjemurannya. Sesekali tangan itu memperbaiki ujung selendangnya yang terjatuh
karena lama menunduk, kemudian menyilangkan kembali selendang itu di kepalanya.
Menampakkan lehernya yang semakin jenjang karena semakin kurus. Kesedihan masih
tergurat di wajahnya. Kesedihan karena kehilangan suami sebagai penopang
kehidupannya dan kehidupan kami anak-anaknya. Kehilangan yang hanya menyisakan
aku yang hampir gagal menyelesaikan sekolah menengah atas serta dua adik
perempuanku yang masih butuh biaya bersekolah.
“Perahu itu telah kehilangan nakhodanya,
Bu.”
“Perahu itu telah lama tertambat.
Membiarkan mesinnya berkarat, kayunya lapuk, dan jaringnya terkoyak. Perahu itu
telah sekarat, Bu. Seperti kehidupan kita, Bu” cobaku meyakinkan Ibu.
“Kau jual saja, dan kau bisa
menggunakan uangnya untuk merajut harapanmu di sini, hingga kau tak perlu
melaut.”
“Sejak kecil kau selalu mengatakan bahwa kau tidak ingin menjadi pelaut.”
“Tidak, Bu. Perahu itu adalah harapan
Ayah. Aku tak akan menjualnya. Sedang di sini, harapanku telah kandas karena
keserakahan manusia.”
Aku memang tidak pernah berhasil
membangun impianku di daratan. Permukaannya terlalu keras untuk kuukir menjadi
cerita manis kehidupanku meskipun telah berkali-kali kuwarnai dengan peluhku. Tanahnya
tak mengijinkan untuk kumiliki walau sekedar untuk bercocok tanam, hanya
sepetak rumah yang menyisakan sedikit halaman yang digunakan untuk menjemur
pakaian dan kandang ayam seadanya.
Pernah kucoba berdagang dengan modal
seadanya. Namun harus berhadapan dengan kepicikan pedagang yang bermodal besar.
Hanya beberapa waktu saja daganganku menjadi kenangan. Pernah pula kucoba
mempertaruhkan ijazah yang kumiliki. Hasilnya sama saja. Semua pekerjaan yang
kulamar mensyaratkan biaya administrasi yang tidak ada tercantum dalam
persyaratan pelamaran dan tak pula bisa kupenuhi. Keserakahan manusia-manusia
di daratan telah menyingkirkan kesempatan orang-orang yang terpinggirkan
sepertiku. Hingga, aku terjepit diantara kebutuhan hidup yang harus kupenuhi. Akhirnya
aku memilih untuk melanjutkan harapan-harapan Ayah di laut. Keputusan yang
hingga saat ini belum mendapat restu Ibu.
“Kau sama sekali belum mengenal
laut, Irman.”
“Laut memang terlihat indah tapi
ombaknya dapat bergulung-gulung secara tiba-tiba. Langit birunya menyembunyikan
awan hitam yang siap menjadi badai. Kau belum pernah menyapanya, hingga kau
belum mengenalnya.” Ibu masih belum memberikan restunya atas keputusanku.
“Tapi laut juga menyimpan harapan,
Bu.”
“Seperti Ayah, aku ingin menjemput
harapan itu di sana.
Aku hanya perlu memastikan perahuku kuat menembus ombak dan menahan badai,
serta jaringku mampu mengangkat ikan-ikan ke atasnya. Aku hanya berhadapan
dengan kehendak laut, dan bukan keserakahan manusia-manusia yang katanya berakal.”
Aku mencoba memenangkan pilihanku di atas keraguan Ibu.
“Khawatir Ibu kepadamu, Irman.” “Tanganmu
akan kasar karena menebar jaringnya, mungkin juga akan tergores ketika mengangkatnya
kembali. Kulitmu akan semakin hitam terbakar matahari.” Ibu terdiam sejenak.
“Kau upah saja orang lain melayarkan perahumu.”
“Bu, Janganlah kecintaanmu menjadikan
aku lemah menghadapi hidup, Bu.” Nada suaraku sedikit mengiba, berharap kali
ini Ibu memberikan izin dan do’anya. Ibu hanya diam. Menghela nafasnya
sesekali. Aku terus memperhatikannya dalam diamku. Tak ingin rasanya memaksakan
inginku pada Ibu yang selama ini telah berpeluh untukku. Telah beberapa kali
aku membicarakannya dengan Ibu, namun Ibu belum memberi restunya padaku.
Aku berdiam menunggu keputusan Ibu. Keputusan yang kuharap bukan
keputusan kemarin. Ku lihat Ibu menghela nafas
“Pergilah, Nak.” Suara Ibu pelan. “Tak
pernah inginku mendidikmu dalam kelemahan. Jika inginmu melebihi
kekhawatiranku, maka berangkatlah engkau.” Kata-kata Ibu semakin lemah bahkan hampir
tak terdengar. Ia berusaha menyembunyikan kerisauannya dengan mengalihkan pandangannya.
Sempat kulihat butiran bening menggenang di matanya sebelum ia sempat menunduk dan
menyembunyikannya…
*****
Wanita itu duduk termenung di bibir
tangkahan. Kebiasaan yang akhir-akhir ini sering dilakukannya menjelang sore. Wajahnya
menyimpan kisah sedih yang buram. Tanpa peduli pada beberapa pasang mata yang
menatapnya iba. Dia akan senantiasa ke tangkahan itu. Tangkahan tempat harapannya
tertambat. Tangkahan tempat ia melepas dua lelakinya. Suami dan anaknya yang
hilang di ujung laut.
Di tangkahan itu kemudian dia akan
duduk menunduk. Mulutnya yang senantiasa bersenandung, kini lirih, menceracau
tak menentu. Senandungnya hanya tentang kepedihan, bukan tentang laut dan
nelayan. Senandungnya tentang kehilangan, bukan mimpi dan harapan. Hanya, kedua
matanya kali ini tidak lagi menitiskan air mata. Mungkin telah habis beberapa
hari yang lalu. Mungkin juga telah hanyut bersama pasang surut air laut. Hilang
bersama kabar perahu anaknya yang pecah di tengah badai. Kabar yang membuat
pikirannya galau, kalut dan mengguris pikirannya. Hingga kemudian dia berlari
ke bibir tangkahan dan meraung di sana.
Sejak itu, dia senantiasa ke tangkahan menjelang matahari terbenam. Hingga anak
gadisnya menjemputnya pulang dari tangkahan itu…
*****