Minggu, 24 Mei 2015

KETIKA MAS GAGAH (TAK HARUS) PERGI (LAGI)

KETIKA MAS GAGAH PERGI : MIMPI MEMBANGUN GENERASI DALAM IDEALISME SASTRA

Hari sabtu kemarin (23/5) saya berkesempatan menghadiri sebuah acara yang digagas oleh teman-teman dari FLP Sumut dan ACT (Aksi Cepat Tanggap). Acara yang bertajuk “Membentuk Generasi Berkarakter dan Religius” dan “Sosialisasi Film Ketika Mas Gagah Pergi” ini menghadirkan penulis KMGP Mbak Helvy Tiana Rosa dan penulis GGC (Gue Gak Cupu) -bukan GGS- Anugrah Roby yang juga pengurus FLP Sumut.

Ketertarikan saya menghadiri acara tersebut -selain karena pembicara dan temanya- adalah ingin mengetahui kisah sebenarnya tentang perjalanan film KMGP langsung dari penulisnya Mbak HTR. Awal kebersinggungan saya dengan KMGP disekitar tahun 2000-an saat duduk di perkuliahan. Bagi saya yang saat itu baru mulai memetamorfosis diri, KMGP meninggalkan kesan yang begitu kuat bagi diri saya –mengajari saya kalau ternyata saya ternyata mellow juga- hingga kemudian mencoba mencari-cari sosok mas gagah diantara para senior saya ketika itu atau terkadang membayangkan seakan saya adalah mas gagah (terlalu ke-pede-an nih).

Selang beberapa waktu setelah itu saya membaca berita bahwa KMGP akan diangkat ke layar bioskop. Namun, hingga saat ini film tersebut ternyata urung dibuat. Sebab mengapa KMGP tidak juga diangkat ke layar bioskop itulah yang menjadikan saya penasaran. Hingga ketika saya mendapatkan pesan tentang adanya kegiatan “Sosialisasi Film KMGP” kemarin saya mengupayakan hadir meskipun harus curi-curi waktu dari tugas saya di sekolah. J

Peluang diangkatnya sebuah karya sastra menjadi sebuah film sehingga menjangkau lebih banyak audien (bukan sekedar yang hobi baca) semakin terbuka lebar di tengah menggeliatnya perfilman negeri ini. Sebut saja Ayat-Ayat Cinta karangan Kang Abiq, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk tulisan Buya HAMKA dan beberapa film lainnya yang diangkat dari sebuah karya sastra. Maka, bagi saya pribadi urungnya pembuatan film KMGP menjadi sebuah pertanyaan, sementara dari segi cerita, karakter tokoh, nilai moral dan religiutas KMGP tidak kalah dari Ayat-ayat Cinta dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Bahkan bagi saya KMGP memiliki nilai lebih tersendiri dibandingkan yang lain.

Dari penuturan Mbak HTR sendiri ternyata faktor utama yang menjadi penyebab belum diproduksinya KMGP menjadi sebuah film bukan karena tidak ada rumah produksi yang menginginkannya melainkan idealisme yang ingin tetap dipertahankan oleh Mbak HTR yang tidak bisa dipenuhi pihak rumah produksi. Memang, jika kita melihat beberapa film yang diadaptasi dari sebuah novel terasa kurang “greget” dibandingkan novelnya sendiri. Beberapa part dalam novel aslinya tidak tersampaikan dengan jelas maksudnya bahkan beberapa diantaranya dihilangkan. “Ruh” asli dari cerita KMGP inilah yang ingin dipertahankan Mbak HTR.

Alasan Mbak HTR mempertahankan bukanlah tidak kuat mengingat KMGP merupakan cerita yang sangat menginspiratif pembacanya untuk memperbaiki diri dan menjadi generasi islam yang benar pemahaman keislamannya. Dan mengingat perjalanan KMGP yang sudah 23 tahun (sejak 1992) dan telah berkali naik cetak dengan beberapa tambahan tentulah telah banyak generasi yang terinspirasi karenanya. Inilah mimpi membangun generasi islam dan menciptakan perubahan dalam idealisme sastra.

Mbak HTR sendiri juga tidak menunggu begitu saja idealisme dalam KMGP menghilang karenanya saat ini beliau sedang gencar melakukan road dibeberapa kota termasuk di kota Medan dan mensosialisasikan gerakan “Patungan Membuat Film KMGP”. Gerakan yang menyasar setiap pribadi yang juga mempunyai impian yang sama sebagaimana mimpi Mbak HTR untuk mewujudkan KMGP the movie yang tetap membawa ruh sastranya. Karenanya siapapun anda yang memiliki kenangan ataupun yang ingin membuat kenangan dengan KMGP layak turut mendukung gerakan ini. Mari menjadi bagian dari gerakan perubahan untuk membangun generasi yang lebih baik dan bermanfaat melalui sastra dan film yang mendidik, menggugah, kaya akan nilai keislaman, moral dan berkualitas

Buat Sahabat Mas Gagah yang ingin memberikan dukungannya,  silakan disalurkan melalui Rekening berikut:
1. Bank Mandiri 1570087778883 a.n Forum Lingkar Pena.
2. BNI Syariah 0259296140 a.n Yayasan Lingkar Pena.

Format korfirmasi : Nama (spasi) kota (spasi) Jumlah (spasi) Rekening yang di tuju
Contoh: GAGAH BANDUNG 1000.000 BNI Syariah
Kirim ke : 08121056956 (Risty)


Ayo Dukung KMGP The Movie dan jadilah bagian dari perubahan. Agar Mas Gagah (tak harus) pergi (lagi)
Read More..

Rabu, 20 Mei 2015

MISKONSEPSI DALAM PENDIDIKAN


Dalam pembelajaran tidak jarang terjadi peristiwa miskonsepsi, yaitu peristiwa dimana para peserta didik salah memahami konsep ilmiah yang diajarkan sebagaimana mestinya. Miskonsepsi pada umumnya terjadi disebabkan kesalahan pada pembelajaran sebelumnya atau kesalahan yang berkaitan dengan prakonsepsi yang bersumber dari pikiran siswa sendiri atas pemahamannya yang masih terbatas maupun dari pengalaman formal dalam kehidupannya sehari-hari.


Miskonsepsi dapat terjadi dalam setiap dimensi kehidupan, bukan hanya dalam proses pembelajaran. Miskonsepsi dapat menjadi penyebab awal gagalnya sebuah kebijakan yang diambil. Boleh jadi kebijakan yang diambil sebenarnya sudah benar, namun miskonsepsi dapat menyebabkan arah kebijakan yang telah diambil keluar dari jalur yang seharusnya.

Demikian halnya dalam dunia pendidikan. Kompleksitas masalah dalam dunia pendidikan sekarang ini menurut saya disebabkan adanya miskonsepsi dalam memahami pendidikan itu sendiri sehingga mengaburkan persepsi yang terbentuk. Berikut adalah beberapa miskonsepsi yang umum terjadi dalam dunia pendidikan saat ini :

1.    Pendidikan adalah Pengajaran.

         Sebagian besar masyarakat di negeri ini memiliki anggapan dan persepsi bahwa pendidikan identik dengan pengajaran. Proses pendidikan dianggap selesai apabila telah melalui proses pengajaran yang ditandai dengan transfer ilmu yang kemudian diukur dengan pelaksanaan ujian. Kemudian hasil pendidikan itu diterjemahkan kedalam angka-angka dalam bentuk laporan hasil.

Mari lihat kembali definisi pendidikan dalam KBBI. Menurut KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Penekanan pada pengertian di atas adalah pada proses pengubahan sikap dan tata laku yang bukan sekedar transfer pengetahuan. Dalam hal ini, sikap dan tata laku tidak cukup hanya dengan penjelasan tentang pengertian-pengertian sikap itu sendiri melainkan harus turut pula dengan contoh yang nyata dan hadir dalam proses pengajaran dan pelatihannya. Penekanan hanya dalam pengajaran dan pelatihan saja akan melupakan sisi keteladanan dan pembiasaan yang jauh lebih efektif dalam proses pendidikan karakter.

Miskonsepsi yang seperti ini menjadikan proses pendidikan tidak berjalan baik di sekolah. Bagi guru yang telah terjangkit dengan virus miskonsepsi ini, akan memiliki anggapan bahwa tugasnya hanya sebatas bagaimana menyampaikan materi pengajaran. Dan untuk memperbaiki pengajarannya kemudian hari maka sang guru hanya perlu menyiapkan kelengkapan mengajarnya saja. Akibatnya, guru akan kehilangan rasa mendidik, dan melupakan nilai-nilai pengayoman dan pendekatan emosional serta keteladanan saat mengajar peserta didiknya.

Di sisi lain, miskonsepsi ini menyebabkan tuntutan pemerintah terhadap guru terkesan hanya pada ranah pengajaran saja. Tuntutan atas kelengkapan mengajar seperti prota, prosem, silabus dan RPP merupakan kelengkapan mengajar yang selalu dijadikan ukuran terhadap kualitas mendidik guru. Padahal hal tersebut hanya sebatas berkas yang pada kenyataannya banyak yang tidak diaplikasikan. Tuntutan ini juga menambah tugas dan fungsi guru sebagai administrator pengajaran yang hubugannya jauh sekali terhadap tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Bahkan, tak jarang guru meninggalkan peserta didiknya hanya untuk memenuhi kelengkapan mengajar tersebut. Lebih-lebih pada saat menjelang tunjangan sertifikasi dikeluarkan.

Miskonsepsi ini juga menjangkiti para orang tua. Hal ini terlihat dari tindakan sebagian besar para orang tua dalam mendidik anaknya. Bagi orang tua yang berkemampuan lebih, mereka akan memaksa anak-anaknya untuk mengikuti berbagai les tambahan. Jadwal anak akan dipenuhi dengan kegiatan mengikuti les tambahan tersebut. lepas dari les bahasa inggris langsung ikut les matematika dan sebagainya. Anak tidak lagi memiliki waktu untuk mengembangkan diri sebagaimana keinginan dan bakatnya sendiri. Sedangkan bagi orang tua yang tidak memiliki kemampuan lebih akan terkesan tidak peduli sebab merasa tidak mampu memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya.

2.    Sekolah merupakan Satu-satunya Lingkungan Pendidikan
           
Adanya anggapan bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat dimana terjadi proses pendidikan juga merupakan miskonsepsi yang lazim ditemui di masyarakat. Miskonsepsi ini menjadikan sekolah sebagai tumpuan utama proses perubahan sikap generasi muda. Sekolah dianggap sebagai satu “bengkel” yang memproduksi sumber daya manusia dengan stadar yang sama pada lulusannya.

            Kenyataannya, keberadaan siswa di sekolah hanyalah sementara. Kurang lebih dari sepertiga hari yang dilalui siswa setiap harinya. Waktu para peserta didik lebih banyak dihabiskan di luar lingkungan sekolah. Dengan kata lain, mereka tentunya mendapatkan pengalaman yang berbeda selain dari pengalaman yang mereka dapatkan di sekolah.

            Miskonsepsi jenis ini mengakibatkan terlupakannya pendidikan dilembaga yang lainnya yang memiliki peran jauh lebih besar dan lebih utama dalam membentuk karakter. Sebut saja lembaga keluarga yang kehilangan fungsinya sebagai penempa pertama karakter, dan lembaga masyarakat yang kehilangan fungsinya sebagai kontrol.

Efek lainnya adalah melemahnya fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan dikarenaan adanya ambiguitas pola pendidikan di sekolah dengan lingkungan lainnya. Saat sekolah mengajarkan tentang kebersamaan dan gotong royong, di saat yang sama pula pasar mengajarkan persaingan dan saling menyingkirkan. Saat sekolah mengajarkan sopan santun dan norma, di saat yang sama pula para tokoh mempertontonkan hal-hal buruk.

Bagi guru yang terkena virus miskonsepsi ini hanya akan menjadikan sekolah sebagai satu-satunya tempat dimana mereka berlaku selayaknya seorang pendidik. Di luar lingkunga sekolah tidak sedikit guru yang menghabiskan waktunya di meja perjudian bahkan minum alkohol. Mereka tidak menyadari bahwa predikat pendidik yang mereka miliki akan senantiasa melekat padanya dimanapun mereka berada. Oleh karenanya sebagai pendidik harus mampu menempatkan diri dan bersikap selayaknya guru sekalipun tidak berada di lingkungan sekolah.

Miskonsepsi ini mendorong terjadinya komersialisasi dalam pendidikan. Bagi para orang tua akan berlomba mencari sekolah terbaik bagi putra-putrinya sekalipun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dengan harapan sekolah tersebut mampu membentuk karakter anaknya sebagaimana yang diinginkan. Namun, pada akhirnya para orang tua itu harus kecewa disebabkan tidak adanya perubahan pada anaknya sebab nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga tetap mendominasi nilai yang diajarkan di sekolah. Hal ini disebabkan pola pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga jauh berbeda dengan pola yang diterima siswa di sekolah.

Para orang tua hendaknya menyadari bahwa pembentukan karakter anak sejatinya dimulai dari lingkungan kecil yang disebut keluarga. Karenanya, pemenuhan kebutuhan akan pendidikan dalam keluarga harus juga menjadi perhatian utama para orang tua, bukan sekedar pemenuhan kebutuhan ekonomi semata.

3.    Guru dan Pemerintah merupakan Penanggungjawab Mutlak Pendidikan

Ketika ditanyakan kepada sebagian besar masyarakat tentang siapa yang bertaggungjawab terhadap masalah pendidikan, maka hampir seluruhnya dengan mudah menuding kepada guru dan pemerintah. Dengan berbagai alasan guru dengan mudah dipersalahkan semisal kemampuan yang rendah, mengajar tanpa memberikan contoh dan sebagainya. Dan dengan berbagai alasan pula pemerintah dipersalahkan atas rendahnya kualitas pendidikan, semisal sarana yang tidak memadai, kurangnya program pelatihan guru, serta kurikulum yang selalu berubah dan sebagainya.
Alasan-alasan tersebut memang benar adanya. Keberadaan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dilembaga pemerintahan maupun dari guru itu sendiri menyebabkan tidak sinerginya kerja-kerja yang berhubungan degan program pendidikan. Namun, permasalahan ini hanyalah masalah kecil apabila kesadaran akan tanggungjawab pendidikan bukan hanya terletak dipundak guru dan pemerintah semata.

Jika kita sepakat bahwa stakeholder pendidikan itu meliputi guru, siswa, sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah, maka seluruh stakeholder itu dituntut harus menjadi model bagi siswa yang sedang melakukan pembiasaan  tentang karakter bagi dirinya. Dengan demikian tidak terjadi lagi ambiguitas dalam dunia pendidikan ketika seluruh stakeholder turut andil sesuai porsi dan taggungjawabnya.


Demikian beberapa miskonsepsi dalam pendidikan yang menurut saya tumbuh subur di masyarakat saat ini. Miskonsepsi yang mempengaruhi kualitas pendidikan di negeri ini. Pendidikan bukanlah sekedar menghadirkan siswa di ruang-ruang kelas yang terbatas. Ia mencakup seluruh tempat berlangsungnya kehidupan sebab pendidikan adalah belajar tetang kehidupan. Pendidikan bukanlah sekedar jenjang SD hingga sarjana, melainkan setiap jenjang kehidupan semenjak kelahiran hingga akhir kehidupan. Setiap kita adalah pendidik dan setiap kita adalah peserta didik dalam kehidupan ini. 
Read More..

Jumat, 08 Mei 2015

Bukan Impian Kosong

Setiap impian itu
Harus diupayakan dalam bentuk tindakan.

Tindakan adalah cara terbaik
untuk membuktikan
Bahwa impian itu layak bagimu

Be Wise
Read More..