Selasa, 29 Desember 2015

KEREN SIH, TAPI...

Dalam menentukan sikap, tindakan dan mengambil keputusan, manusia akan dipengaruhi oleh dua hal mendasar. Pertama, sudut pandang (perspektif) yang digunakannya pada saat itu, dan yang kedua adalah keilmuan atau pemahaman yang dimilikinya tentang hal tersebut. Jika pada akhirnya diketahui bahwa keputusan atau tindakan yang diambilnya tidak benar, berarti terdapat kesalahan pada salah satu dari kedua hal tersebut, atau bahkan mungkin keduanya salah. Kesalahan pada keilmuan dan pemahaman dapat dengan mudah diatasi dengan cara memberi tahu atau menyampaikan wawasan yang lebih baik dari yang dipahami sebelumnya. Namun, kesalahan dalam menggunakan perspektif akan memerlukan waktu dan usaha yang lebih untuk memperbaikinya. Adakalanya perspektif dapat diperbaiki seiring bertambahnya keilmuan, dan adakalanya keilmuan dan pemahaman bertambah ketika perspektif telah benar.

Hanya dalam hitungan jam saja, kita akan memasuki pergantian tahun masehi. Berbagai rencana mungkin telah tersusun di kepala kita untuk mengisi pergantian tahun tersebut. Sebagian besar berfokus pada hura-hura di malam pergantian tahun nanti, dan hanya sebagian kecil yang berfokus pada resolusi, cita-cita dan harapan yang ingin dicapai pada tahun yang akan datang. Sebagian besar menyibukkan diri dengan membaca artikel atau tulisan-tulisan yang berhubungan dengan peruntungan di tahun depan dan menghubung-hubungkannya dengan zodiak dan apapun itu yang bukan berasal dari islam, sedangkan sebagian kecil lainnya melakukan evaluasi terhadap target-target mereka sebelumnya dan memantapkan rencana untuk target mereka ke depan.

Sebagai generasi muslim hendaknya senantiasa menggunakan perspektif islam dalam mengambil sikap dan menentukan kegiatan apa yang akan dilakukan dalam pergantian tahun. Jangan sampai kita terjebak dalam kegiatan yang sia-sia apatah lagi kegiatan yang sifatnya hanya mengandung kesenangan sementara namun mengundang kesengsaraan yang abadi. Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya berusaha sekuat mungkin meninggalkan hal yang sia-sia di seluruh dimensi kehidupannya.

"Di antara tanda sempurnanya islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat" (HR. Tirmidzi)

Kita memang mudah tertarik dengan kemeriahan malam pergantian tahun baru. Riuh rendah suara terompet, suara petasan dan percikan-percikan kembang api di udara, konser musik dan keramaian di lapangan, serta arak-arakan di jalanan merupakan hal-hal yang mungkin mengundang kita untuk bergabung dengan kemeriahan tersebut. Apalagi dalam kemeriahan tersebut kita melihat orang-orang yang kita kenal, teman bahkan keluarga turut menambah daya tarik kemeriahan perayaan pergantian malam tahun baru.

Keren sih, tapi jika ternyata kemeriahan tersebut tidak memiliki kedudukan yang jelas dalam perspektif Islam bahkan cenderung menjadi sia-sia dan mubazir karena menghabiskan biaya yang tidak sedikit maka menghindarinya merupakan keputusan terbijak yang menjadi pilihan. Ditambah lagi kekhawatiran akan terjebaknya kita dengan kebiasaan atau perilaku kaum di luar Islam yang justru menjadikan kita termasuk dalam kaum tersebut.

"Barang siapa yang mengikuti suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka" (HR. Abu Daud)

Be Wise!
Read More..

Senin, 23 November 2015

GURU, MASIHKAH KAU PAHLAWAN?

Guru, masihkah kau pahlawan? Sebuah pertanyaan yang mungkin harus ditanyakan ke dalam diri kita sebagai seorang guru di tengah tuntutan profesionalisme yang diukur dengan sebuah sertifikat dan nominal angka. Pertanyaan yang mungkin kita lupakan ketika kita menuntut perhatian pemerintah atas kerja kita mendidik anak-anak bangsa. Dan kini ketika perhatian itu sedikit kita dapatkan, pertanyaan itu seakan pil pahit yang menyangkut di tenggorokan. Pertanyaan yang saya sendiri ragu untuk menjawabnya.

Sekolah atau madrasah merupakan tempat menempa generasi penerus bangsa. Ia juga merupakan benteng terakhir kejujuran dan semangat perbaikan. Padanya disandarkan banyak harapan akan masa depan yang lebih baik. Namun di tengah pertentangan nilai dalam kehidupan saat ini, sekolah sepertinya tidak begitu tangguh untuk menjadi tiang harapan tersebut. Di saat dunia bisnis mengajarkan persaingan, sekolah tidak begitu kuat mengajarkan gotong-royong dan kerjasama. Di saat dunia politik menghalalkan semua cara demi merebut kekuasaan, sekolah gagal menciptakan negarawan dan pemimpin. Dan di saat hukum menjadi tumpul, sekolah gagal menanamkan nilai-nilai kepatuhan terhadap peraturan.

Melemahnya fungsi sekolah merupakan bukti yang menunjukkan melemahnya peran setiap elemen yang terlibat didalamnya. Guru, tenaga kependidikan, serta mereka yang terlibat dalam mengurus dan menentukan kebijakan sekolah merupakan elemen utama yang menjalankan fungsi sekolah. Guru tentu menjadi elemen utama dalam menjalankan fungsi sekolah sebagai tempat transfer sikap, pengetahuan dan keahlian. Sedangkan elemen lain sebagai pendukung agar guru menjalankan fungsinya dengan baik. 

Bertambahnya tugas-tugas guru seiring tuntutan profesionalisme terkadang menjadi penyebab terbengkalainya tugas utama. Tak jarang di beberapa sekolah banyak kelas yang dibiarkan tanpa guru saat sang guru harus dituntut melengkapi administrasi demi tunjangan profesi. Tak sedikit pula guru yang belum disertifikasi mulai hitung-hitungan terhadap pengabdian mereka dengan imbalan jasa yang diperolehnya. Pada akhirnya guru mulai kehilangan jiwanya saat mendidik, mudah emosi, hingga berlaku tidak selayaknya seorang guru. Tanpa menyadarinya, guru secara tidak langsung justru mengajarkan persaingan yang tidak sehat, bahkan mengajarkan ketidakpatuhan terhadap peraturan. 

Tuntutan profesionalisme tentu juga menuntut guru untuk lebih banyak mengorbankan waktunya. Semangat berkorban inilah yang selayaknya dimiliki seorang pahlawan. Pahlawan yang bisa menjadi ikon nyata dihadapan para siswanya. Sehingga sifat-sifat pahlawan itu tertransfer baik pada generasi penerus yang sedang ditempa di sekolah-sekolah mereka.

Guru, masihkah kau pahlawan jika pada kenyataannya waktumu lebih banyak kau sibukkan mengejar imbalan atas jasamu?. Masihkah kau pahlawan jika pada kenyataannya jiwamu tidak menyertai kehadiranmu saat melaksanakan tugas?. Masihkah kau pahlawan jika pada kenyataannya kau justru menjadi pribadi yang tidak layak digugu dan ditiru?. Mungkin pribadi kita masing-masing yang mampu menjawabnya. 

Mungkin beberapa tahun ke depan, kita tidak lagi mengenal istilah "pahlawan tanpa tanda jasa". Mungkin saja istilah tersebut akan hilang digerus oleh tuntutan kehidupan hingga setiap jasa harus diukur dengan sejumlah nilai kesejahteraan. Tapi tentu saja kita semua berharap setiap guru tetap memiliki jiwa pahlawan, sekalipun itu adalah "pahlawan dengan tanda jasa". Karena sejatinya guru adalah pahlawan.

(sebuah catatan pinggir menjelang hari guru)
Read More..

Senin, 09 November 2015

HARI PAHLAWAN DAN BUDAYA (UANG) TERIMAKASIH

Tanggal 10 Nopember 1945 mengandung peristiwa penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sejarah mencatat bahwa perang besar pertama pasca proklamasi kemerdekaan terjadi pada tanggal ini. Perang mempertahankan kemerdekaan dari tentara asing yang kembali ingin mencaplok kedaulatan Indonesia. Pertempuran besar yang terjadi di Surabaya ini kemudian setiap tahunnya diperingati dan ditetapkan sebagai salah satu hari bersejarah di negeri ini. Hari pahlawan.

Sekalipun pada peristiwa tersebut jatuh korban yang lebih banyak dari pihak Indonesia, namun latar belakang terjadinya perang dan semangat heroik yang luar biasa yang ditunjukkan seluruh elemen masyarakat Surabaya ketika itu sangat layak diperingati. Bukan hanya pejuang, bahkan para ulama, kiyai, santri dan rakyat sipil turut serta memainkan peran mereka ketika itu demi mempertahankan kedaulatan negeri ini. Semangat yang seharusnya diwarisi oleh kita hari ini.

Semangat kepahlawanan merupakan semangat yang mendorong kita memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa ini. Semangat yang menginisiasi kita mengambil peran dalam mengisi kemerdekaan. Semangat untuk melakukan kebaikan demi kebaikan sekalipun ia begitu melelahkan. Semangat kepahlawanan adalah semangat untuk berkorban memberi jasa tanpa pernah berpikir bahwa kita akan dikenal, dihormati, atau bahkan sekedar ucapan terimakasih.

Bagaimana dengan saat ini? Di zaman yang serba mengagungkan materi seperti saat ini, semangat kepahlawanan semakin tergerus oleh arus kepentingan. Setiap jasa harus diukur dengan imbalan dan nilai tertentu. Sekalipun untuk menjalankan fungsi tersebut sebenarnya ia telah mendapat gaji dari tempat ia bekerja.

Budaya uang terimakasih menjadi hal yang dianggap biasa hari ini. Dan tanpa kita menyadari, budaya ini akan menggerus habis sifat kepahlawanan dalam diri kita. Pemberi dan penerima akan kehilangan rasa menghargai terhadap jasa yang diberi maupun yang diterima disebabkan jasa tersebut telah terukur nilainya. Dan pada akhirnya, antara pemberi dan penerima hanya akan saling membantu jika dianggap memberi keuntungan semata. Dan kemajuan apalagi yang bisa diharapkan dalam suatu negara apabila dalam negara tersebut yang ada hanya saling memanfaatkan dan bukan saling membantu?. Bahkan jika budaya ini menjamur dalam instansi pemerintah, tentulah memperlambat roda pemerintahan itu sendiri. Dan ujung-ujungnya akan mengorbankan kepentingan masyarakat.

Jika saja para pahlawan itu masih hidup hari ini. Mungkin mereka akan berkata "Bukan untuk ini kami berjuang". 

Hari ini, hari pahlawan hanya diperingati sebagai seremonial semata tanpa mewariskan nilai-nilai kepahlawanan yang menyertainya. Perlahan namun pasti akan semakin sulit mencari sosok pahlawan di negeri ini. Bagaimana dengan anda? Apakah anda bersedia?


Read More..

Sabtu, 24 Oktober 2015

MELAWAN ASAP DALAM MATERI STAND-UP

Saat ini ada dua hal yang menurut saya sedang hangat dibicarakan.
Yang pertama adalah stand-up.
Dan yang ke dua adalah asap.
Kalau stand-up itu hangatnya karena diminati, digemari.
Nah, kalau asap nih hangatnya menurut saya karena pepatah.
"Tidak ada asap kalau tidak ada api"
Agar masalah asap ini selesai, harusnya pepatahnya kita ganti
"Tidak ada asap kalau tidak ada yang bakar" atau kita ganti dengan
"Tidak ada asap kalau tidak ada kebun sawit"
Nah, kalau pepatahnya sudah diganti tapi masalah asapnya belum selesai juga.
Berarti presidennya yang harus diganti.

Oh iya, perkenalkan nama saya Muhammad Abduh Panjaitan.
Profesi saya sebagai guru dan saya bangga menjadi guru.
Kenapa?
Karena menurut survey yang saya lakukan.
Profesi guru itu saat ini merupakan urutan kedua yang paling diminati di negeri ini.
Urutan pertamanya tukang sate.
Karena asapnya kemana-mana.
Bedanya yang ini bukan tukang sate biasa seperti sate kambing atau sate ayam.
Kalau yang ini sate hutan.
Jadi cara pertanyaan tukang satenya juga beda.
Kalau yang biasa pesannya begini. "Bang, satenya, Bang".
Abang tukang satenya nanya "Berapa tusuk?"
Itu yang biasa.
Kalau yang ini. "Bang, satenya, Bang?"
Tukang satenya nanya "Berapa hektar?"

Berbicara soal hutan.
Hutan itu kan paru-paru dunia.
Nah, kalau hutannya dirusak. Berarti kita merusak paru-paru dunia.
Makanya jangan heran kalau hutannya dibakar, dampaknya ke paru-paru.
Makin lama kita menghirup asap, paru-paru kita makin rusak
Trus, kita disuruh bernapas pakai apa? Pakai insang?
Berjalan pake sirip? Jadi mirip ikan.
Ikan yang diasap.

Selain paru. Bencana asap ini juga ternyata dapat menurunkan daya ingat.
Ini terjadi pada saya. Hampir sebagian besar orang-orang yang menegur saya di jalanan, tidak saya kenali lagi wajahnya.
Bukan karena jarak pandang yang terbatas, tapi karena wajahnya tertutup masker.

Selain itu, bencana asap ini membuat jantung saya selalu deg-deg-an.
Apalagi saat kita naik angkot, trus ada yang naik yang nggak kita kenali dan duduk tepat disamping kita.
Bawaannya jadi curiga gitu.
Apalagi kalau lihat ciri-cirinya. Wajahnya tertutup masker.

Tapi, di tengah bencana seperti ini, Indonesia masih mencatatkan hal yang membanggakan.
Salah satu komoditi ekspornya berhasil menembus negara-negara tetangga.
Ekspor asap.
Meskipun tidak menambah devisa negara, tapi kita berhasil mendapatkan simpati mereka.
Negara-negara tetangga itupun akhirnya membantu kita dengan membagikan masker.

Terima Kasih. Saya Muhammad Abduh Panjaitan. Mari melawan asap, sekalipun dalam senyap.
SHARE If You CARE!
Read More..

Rabu, 23 September 2015

SAAT BUALAN RADIO TUA BERAKHIR

Cerita Si Pembual

Hentikan bualanmu tentang segalanya
Ekonomi yang akan membaik hingga stabilitas harga
Muak hati ini mendengar dongenganmu
Gemuruh dada ini menahan amarah

Jangan kau kira jamuanmu ini menjadi penawarnya
Kopi yang kau suguhkan juga tak mampu hangatkan suasana
Terasa pahit seperti warnanya yang hitam pekat
Mungkin itu yang kau inginkan pada hidup kami

Saat kutanya dari mana asal bualanmu itu
Atasan saya juga bicara yang sama
Jawabmu sederhana

Medan, 21 September 2015

Cerita Istri Seorang Nelayan

Hari ini istriku bercerita
Tentang harga-harga yang melangit
Bahkan telurpun tak lagi mengisi perut kami
Padahal radio tua warisan ayahku kemarin memberitakan
Harga sembako aman terkendali

Hari ini istriku bercerita
Tentang tahu tempe yang ukurannya semakin kecil
Sekalipun hanya itu pengganti lauk kami
Beda nyata dengan berita radio tua
Katanya kedelai menjadi pengganti daging tanpa hipertensi

Hari ini istriku bercerita
Tentang beragam jenis uang yang harus dibayarkan
Demi sekolah si bujang
Berbeda dengan berita di radio tua itu
Sekolah dibebaskan dari segala kutipan liar

Risau aku mendengar ceritanya
Tiga hari tak melaut telah membuatnya kalut
Jaring koyak membuat hidup kami sesak
Membuatku bangkit dan berkata padanya
Jual saja radio tua itu

Medan, 20 September 2015

Saat Semuanya Berakhir

Saat semuanya berakhir
Kau takkan lagi disalahkan
Segalanya akan kembali ke sediakala
Sebab kami tak lagi punya apa-apa

Saat semuanya berakhir
Kau takkan lagi dicaci-maki
Segalanya akan kembali sebagaimana ia bermula
Dan mungkin kami sudah tak ada suara

Saat semuanya berakhir
Takkan ada lagi kritik dan sindir untukmu
Sebab kami akan lebih fokus mempertahankan hidup kami
Dan kau boleh memimpin satu periode lagi


Medan, 22 September 2015
Read More..

Minggu, 20 September 2015

INSIDE YOU PLUS OUTSIDE YOU PLUS

There's a hero
If you look inside your heart
You don't have to be afraid
Of what you are...

There's an answer
If you reach into your soul
And the sorrow that you know
Will melt away...

And you finally see the truth
That a hero lies in you...

Itulah sepenggal sya'ir lagu "Hero" yang dibawakan oleh Mariah Carey. Lagu yang mengingatkan kepada kita untuk senantiasa melihat ke dalam diri ketika menghadapi pelbagai masalah kehidupan sebelum melakukan ekspansi dalam bentuk tindakan. Sekalipun lagu ini terlalu berpandangan dari sisi insaniyahnya untuk mengandalkan diri sendiri dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dan seakan melemahkan peran Ilahi di dalamnya, namun lagu ini bagi saya pribadi cukup efektif membangkitkan semangat dan mengembalikan mood saya. Tentu saja setelah mengadukan masalah tersebut kepada pemilik sejatinya.

Dikisahkan seorang pemilik restoran megah tertarik dengan dua pemusik jalanan yang selalu bermain musik di depan restoran miliknya. Beliau kemudian berniat mempekerjakan salah satu diantaranya untuk menjadi pemusik tetap di sana. Namun dia bingung untuk memilih yang terbaik diantara mereka sebab menurut penilaiannya kedua pemusik tersebut memiliki skill yang tidak jauh berbeda. Akhirnya, dia memutuskan mengundang keduanya untuk mendapatkan jamuan khusus di restoran miliknya.

Menjelang hari yang telah ditentukan, kedua pemusik jalanan mempersiapkan diri mereka untuk menghadiri jamuan tersebut. Bagi mereka, makan di restoran megah merupakan kenyataan yang tidak pernah mereka impikan sebelumnya. Apalagi jamuan kali ini merupakan undangan khusus dari sang pemilik restoran sendiri.

Pemusik jalan yang pertama mempersiapkan dirinya dengan membeli pakaian baru, sepatu baru dan jam tangan baru. Dia membelanjakan hampir seluruh penghasilannya untuk semua kelengkapan yang menurutnya harus dipakainya ketika jamuan itu. Sedangkan pemusik yang ke dua memangkas dan merapikan rambutnya, mandi dan membersihkan dirinya, mempersiapkan pakaian terbaiknya, membersihkan sepatunya, serta memperbaiki jam tangannya untuk menghadiri jamuan tersebut.

Pada saat jamuan, sang pemilik restoranpun menyampaikan maksud undangannya tersebut. Dari penilaiannya terhadap kedua pemusik tersebut maka pilihannya adalah pemusik yang ke dua. Jadilah si pemusik ke dua bekerja sebagai pemusik tetap di restoran tersebut, sedangkan pemusik yang pertama tetap menghabiskan hari-harinya bermain musik di jalanan.

Apa yang terlupakan si pemusik pertama? Dia lupa memperhatikan dirinya. Memperhatikan ke dalam diri merupakan sumber kekuatan yang luar biasa yang dapat merubah apa yang ada di luar kita. Segala yang ada di dalam diri menjadi penentu kualitas sikap yang kita munculkan. Karakter merupakan buah dari apa yang tumbuh di dalam diri kita. Bahkan, rasa bahagia juga berasal dari dalam diri.

Membangun pribadi yang tertata memang tidak sesederhana membangun gedung bertingkat. Perlu waktu panjang untuk senantiasa melakukan selftalk  yang intensif hingga terbentuk image diri yang tertanam dalam pikiran sadar kita.Tentulah informasi yang ditanamkan dalam selftalk adalah informasi yang benar agar image diri yang terbentuk juga benar.

Selftalk adalah komunikasi yang kita lakukan dalam diri sendiri, dimana kita bertindak sebagai komunikator sekaligus sebagai komunikan. Sedangkan image diri adalah cara pandang kita terhadap diri yang menjadi tolak ukur terhadap sikap maupun tindakan yang akan ditampilkan, Kedua hal inilah yang membentuk karakter lahiriyah kita, dan kedua hal tersebut bersumber dari dalam diri kita. Inside you plus outside you plus.

Jadi, karakter apa yang ingin ditanamkan dalam diri anda? Mulailah dengan menyampaikan informasi yang benar tentang karakter tersebut dalam diri anda dan bayangkan "gagah"nya diri anda dengan karakter tersebut. Senantiasa berdo'a kepada Allah, dan jadilah pribadi yang bisa diandalkan.

"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu merubah apa yang ada dalam diri mereka" (Q.S. Ar-Ra'd : 11)

And then a hero comes along
With the strength to carry on
And you cast your fears aside
And you know you can survive
So when you feel like hope is gone
Look inside you and be strong
And you finally see the truth
That a hero lies in you...
Read More..

Rabu, 16 September 2015

PAGI KORUPTOR

Pagi Koruptor (1)
Menyeruput teh hangat di teras rumah megah
Menatap bangga pada taman yang baru ditata
Seraya jiwanya berkata ”ini hasil dari proposal”
Beralih pada kendaraan mewah buatan eropa
Berjajar rapi di  samping bangunan utama
Jiwanya masih berkata ”hasil proyek”
Pandangannya kini pada bangunan utama
Bergaya klasik khas romawi
Mewah layaknya istana
Lagi-lagi jiwanya berkata ”hasil anggaran”
(11 Nopember 2008)

Pagi Koruptor (2)
Masih menyeruput teh hangat di teras rumah megah
Masih bangga dengan harta yang dipunya
Masih berpikir menggelapkan dana
Terusik lamunan dengan tamu yang datang
Berseragam hitam membawa surat penangkapan
Isu-isu kemudian berkumandang
Proposal tidak sesuai dengan proyek dan anggaran
Ada dana yang hilang di balik jas dan kantong
Entah milik siapa
(12 Nopember 2008)

Pagi Koruptor (3)
Di bangunan itu kini bertuliskan
”Di sita pengadilan”
Tak tampak pemilik yang bangga
Kabar-kabarnya telah jadi pesakitan
Di lembaga permasyarakatan
Memakai safari khusus bertuliskan
”Ditangkap karena korupsi”
(15 Nopember 2008)
Read More..

Sabtu, 04 Juli 2015

Membujuk Lelah

Mencoba membujuk lelah
Untuk tidak merebah
Terlalu dini untuk membuat mimpi
Peluhpun tiada cukup menjadi saksi
Untuk cita yang bukan mimpi
Wahai jiwa keluh…
Menjauhlah sebab inginku darah menjadi peluh
Menghias senyum akhir
Perpisahan…

(Ramadhan 1431 H/Agustus 2010)
Read More..

Selasa, 02 Juni 2015

KISAH ANAK PEJABAT

Ini kisah si anak pejabat
Yang dididik ala barat
Sejak kecil tidak pernah belajar shalat
Apalagi berpikir tentang kiamat
Pastilah ia tidak sempat

Waktu berlalu dengan cepat
Sekolah menengah pun ia sudah tamat
Bergaul salah alamat
Hotel dan diskotik jadi habitat
Minuman dan narkotik jadi obat

Si anak pejabat merasa hebat
Selama petinggi jadi teman dekat
Berkali-kali ia selamat
Dari jaring hukum dan aparat

Pejabat kini telah dipecat
Ketahuan menggelapkan uang rakyat
Hidup kini sudah melarat
Si anak pejabat tak jua tobat


Anak pejabat kini jadi penjahat
Read More..

SEBESAR APA KESUNGGUHANMU

Telah ditentukan dalam kehidupan kita bahwa apa yang kita alami merupakan ujian. Ujian yang menjadi standar akan kebenaran iman sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 2 dan 3.

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan “kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?. Dan sungguh, kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang berdusta” (QS. 29 : 2-3)

Hal-hal menyenangkan baik berupa harta, kedudukan, anak-anak dan sebagainya adalah ujian kesyukuran dan amanah. Sedangkan hal-hal yang tidak menyenangkan semisal musibah, penyakit dan lainnya adalah ujian kesabaran.

Salah satu unsur penting dalam menghadapi semua ujian itu adalah kesungguhan. Kesungguhan adalah wujud dari sikap berteguh hati terhadap keyakinan bahwa ujian yang tengah dihadapi bersifat sementara dan akan berlalu. Dengan kesungguhan kita akan berusaha bangkit dari ujian yang tidak menyenangkan dan kesungguhan akan menghindarkan kita dari keterlenaan saat ujian kesenangan.

Upaya yang dilakukan secara terus-menerus merupakan indikator kesungguhan. Mereka yang terus berupaya akan terhindar dari sikap menyerah dan keputus asaaan. Tentu saja upaya yang dilakukan adalah upaya yang senantiasa diperbaiki cara dan maknanya. Tanpa proses perbaikan hanya akan menemui kegagalan baru yang bisa mengikis kesungguhannya.

Dalam pepatah arab kita mengenal “man jadda wajada” yang bermakna siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapat. Hal ini menunjukkan bahwa hasil baik hanya akan menemui mereka yang telah bersungguh-sungguh mengupayakan.

Kesungguhan seseorang dapat dilihat dari kesediaannya untuk berkorban. Mereka yang bersungguh-sungguh akan dengan sukarela berkorban baik dari segi tenaga, waktu, harta bahkan diri mereka. Mereka meyakini bahwa hasil yang akan mereka dapatkan tentunya setimpal dengan pengorbanan yang mereka lakukan. Kesungguhan juga dapat dilihat dari kedisiplinan seseorang menjalankan rencana atau program yang telah ditetapkan. Hanya mereka yang memiliki disiplin yang mampu merealisasikan rencana dan mengupayakan keberhasilan.


Pribadi yang mampu melampaui ujiannya adalah pribadi yang memiliki kesungguhan dalam keimanannya, kesyukuran dan kesabarannya.
Read More..

Minggu, 24 Mei 2015

KETIKA MAS GAGAH (TAK HARUS) PERGI (LAGI)

KETIKA MAS GAGAH PERGI : MIMPI MEMBANGUN GENERASI DALAM IDEALISME SASTRA

Hari sabtu kemarin (23/5) saya berkesempatan menghadiri sebuah acara yang digagas oleh teman-teman dari FLP Sumut dan ACT (Aksi Cepat Tanggap). Acara yang bertajuk “Membentuk Generasi Berkarakter dan Religius” dan “Sosialisasi Film Ketika Mas Gagah Pergi” ini menghadirkan penulis KMGP Mbak Helvy Tiana Rosa dan penulis GGC (Gue Gak Cupu) -bukan GGS- Anugrah Roby yang juga pengurus FLP Sumut.

Ketertarikan saya menghadiri acara tersebut -selain karena pembicara dan temanya- adalah ingin mengetahui kisah sebenarnya tentang perjalanan film KMGP langsung dari penulisnya Mbak HTR. Awal kebersinggungan saya dengan KMGP disekitar tahun 2000-an saat duduk di perkuliahan. Bagi saya yang saat itu baru mulai memetamorfosis diri, KMGP meninggalkan kesan yang begitu kuat bagi diri saya –mengajari saya kalau ternyata saya ternyata mellow juga- hingga kemudian mencoba mencari-cari sosok mas gagah diantara para senior saya ketika itu atau terkadang membayangkan seakan saya adalah mas gagah (terlalu ke-pede-an nih).

Selang beberapa waktu setelah itu saya membaca berita bahwa KMGP akan diangkat ke layar bioskop. Namun, hingga saat ini film tersebut ternyata urung dibuat. Sebab mengapa KMGP tidak juga diangkat ke layar bioskop itulah yang menjadikan saya penasaran. Hingga ketika saya mendapatkan pesan tentang adanya kegiatan “Sosialisasi Film KMGP” kemarin saya mengupayakan hadir meskipun harus curi-curi waktu dari tugas saya di sekolah. J

Peluang diangkatnya sebuah karya sastra menjadi sebuah film sehingga menjangkau lebih banyak audien (bukan sekedar yang hobi baca) semakin terbuka lebar di tengah menggeliatnya perfilman negeri ini. Sebut saja Ayat-Ayat Cinta karangan Kang Abiq, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk tulisan Buya HAMKA dan beberapa film lainnya yang diangkat dari sebuah karya sastra. Maka, bagi saya pribadi urungnya pembuatan film KMGP menjadi sebuah pertanyaan, sementara dari segi cerita, karakter tokoh, nilai moral dan religiutas KMGP tidak kalah dari Ayat-ayat Cinta dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Bahkan bagi saya KMGP memiliki nilai lebih tersendiri dibandingkan yang lain.

Dari penuturan Mbak HTR sendiri ternyata faktor utama yang menjadi penyebab belum diproduksinya KMGP menjadi sebuah film bukan karena tidak ada rumah produksi yang menginginkannya melainkan idealisme yang ingin tetap dipertahankan oleh Mbak HTR yang tidak bisa dipenuhi pihak rumah produksi. Memang, jika kita melihat beberapa film yang diadaptasi dari sebuah novel terasa kurang “greget” dibandingkan novelnya sendiri. Beberapa part dalam novel aslinya tidak tersampaikan dengan jelas maksudnya bahkan beberapa diantaranya dihilangkan. “Ruh” asli dari cerita KMGP inilah yang ingin dipertahankan Mbak HTR.

Alasan Mbak HTR mempertahankan bukanlah tidak kuat mengingat KMGP merupakan cerita yang sangat menginspiratif pembacanya untuk memperbaiki diri dan menjadi generasi islam yang benar pemahaman keislamannya. Dan mengingat perjalanan KMGP yang sudah 23 tahun (sejak 1992) dan telah berkali naik cetak dengan beberapa tambahan tentulah telah banyak generasi yang terinspirasi karenanya. Inilah mimpi membangun generasi islam dan menciptakan perubahan dalam idealisme sastra.

Mbak HTR sendiri juga tidak menunggu begitu saja idealisme dalam KMGP menghilang karenanya saat ini beliau sedang gencar melakukan road dibeberapa kota termasuk di kota Medan dan mensosialisasikan gerakan “Patungan Membuat Film KMGP”. Gerakan yang menyasar setiap pribadi yang juga mempunyai impian yang sama sebagaimana mimpi Mbak HTR untuk mewujudkan KMGP the movie yang tetap membawa ruh sastranya. Karenanya siapapun anda yang memiliki kenangan ataupun yang ingin membuat kenangan dengan KMGP layak turut mendukung gerakan ini. Mari menjadi bagian dari gerakan perubahan untuk membangun generasi yang lebih baik dan bermanfaat melalui sastra dan film yang mendidik, menggugah, kaya akan nilai keislaman, moral dan berkualitas

Buat Sahabat Mas Gagah yang ingin memberikan dukungannya,  silakan disalurkan melalui Rekening berikut:
1. Bank Mandiri 1570087778883 a.n Forum Lingkar Pena.
2. BNI Syariah 0259296140 a.n Yayasan Lingkar Pena.

Format korfirmasi : Nama (spasi) kota (spasi) Jumlah (spasi) Rekening yang di tuju
Contoh: GAGAH BANDUNG 1000.000 BNI Syariah
Kirim ke : 08121056956 (Risty)


Ayo Dukung KMGP The Movie dan jadilah bagian dari perubahan. Agar Mas Gagah (tak harus) pergi (lagi)
Read More..

Rabu, 20 Mei 2015

MISKONSEPSI DALAM PENDIDIKAN


Dalam pembelajaran tidak jarang terjadi peristiwa miskonsepsi, yaitu peristiwa dimana para peserta didik salah memahami konsep ilmiah yang diajarkan sebagaimana mestinya. Miskonsepsi pada umumnya terjadi disebabkan kesalahan pada pembelajaran sebelumnya atau kesalahan yang berkaitan dengan prakonsepsi yang bersumber dari pikiran siswa sendiri atas pemahamannya yang masih terbatas maupun dari pengalaman formal dalam kehidupannya sehari-hari.


Miskonsepsi dapat terjadi dalam setiap dimensi kehidupan, bukan hanya dalam proses pembelajaran. Miskonsepsi dapat menjadi penyebab awal gagalnya sebuah kebijakan yang diambil. Boleh jadi kebijakan yang diambil sebenarnya sudah benar, namun miskonsepsi dapat menyebabkan arah kebijakan yang telah diambil keluar dari jalur yang seharusnya.

Demikian halnya dalam dunia pendidikan. Kompleksitas masalah dalam dunia pendidikan sekarang ini menurut saya disebabkan adanya miskonsepsi dalam memahami pendidikan itu sendiri sehingga mengaburkan persepsi yang terbentuk. Berikut adalah beberapa miskonsepsi yang umum terjadi dalam dunia pendidikan saat ini :

1.    Pendidikan adalah Pengajaran.

         Sebagian besar masyarakat di negeri ini memiliki anggapan dan persepsi bahwa pendidikan identik dengan pengajaran. Proses pendidikan dianggap selesai apabila telah melalui proses pengajaran yang ditandai dengan transfer ilmu yang kemudian diukur dengan pelaksanaan ujian. Kemudian hasil pendidikan itu diterjemahkan kedalam angka-angka dalam bentuk laporan hasil.

Mari lihat kembali definisi pendidikan dalam KBBI. Menurut KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Penekanan pada pengertian di atas adalah pada proses pengubahan sikap dan tata laku yang bukan sekedar transfer pengetahuan. Dalam hal ini, sikap dan tata laku tidak cukup hanya dengan penjelasan tentang pengertian-pengertian sikap itu sendiri melainkan harus turut pula dengan contoh yang nyata dan hadir dalam proses pengajaran dan pelatihannya. Penekanan hanya dalam pengajaran dan pelatihan saja akan melupakan sisi keteladanan dan pembiasaan yang jauh lebih efektif dalam proses pendidikan karakter.

Miskonsepsi yang seperti ini menjadikan proses pendidikan tidak berjalan baik di sekolah. Bagi guru yang telah terjangkit dengan virus miskonsepsi ini, akan memiliki anggapan bahwa tugasnya hanya sebatas bagaimana menyampaikan materi pengajaran. Dan untuk memperbaiki pengajarannya kemudian hari maka sang guru hanya perlu menyiapkan kelengkapan mengajarnya saja. Akibatnya, guru akan kehilangan rasa mendidik, dan melupakan nilai-nilai pengayoman dan pendekatan emosional serta keteladanan saat mengajar peserta didiknya.

Di sisi lain, miskonsepsi ini menyebabkan tuntutan pemerintah terhadap guru terkesan hanya pada ranah pengajaran saja. Tuntutan atas kelengkapan mengajar seperti prota, prosem, silabus dan RPP merupakan kelengkapan mengajar yang selalu dijadikan ukuran terhadap kualitas mendidik guru. Padahal hal tersebut hanya sebatas berkas yang pada kenyataannya banyak yang tidak diaplikasikan. Tuntutan ini juga menambah tugas dan fungsi guru sebagai administrator pengajaran yang hubugannya jauh sekali terhadap tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Bahkan, tak jarang guru meninggalkan peserta didiknya hanya untuk memenuhi kelengkapan mengajar tersebut. Lebih-lebih pada saat menjelang tunjangan sertifikasi dikeluarkan.

Miskonsepsi ini juga menjangkiti para orang tua. Hal ini terlihat dari tindakan sebagian besar para orang tua dalam mendidik anaknya. Bagi orang tua yang berkemampuan lebih, mereka akan memaksa anak-anaknya untuk mengikuti berbagai les tambahan. Jadwal anak akan dipenuhi dengan kegiatan mengikuti les tambahan tersebut. lepas dari les bahasa inggris langsung ikut les matematika dan sebagainya. Anak tidak lagi memiliki waktu untuk mengembangkan diri sebagaimana keinginan dan bakatnya sendiri. Sedangkan bagi orang tua yang tidak memiliki kemampuan lebih akan terkesan tidak peduli sebab merasa tidak mampu memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya.

2.    Sekolah merupakan Satu-satunya Lingkungan Pendidikan
           
Adanya anggapan bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat dimana terjadi proses pendidikan juga merupakan miskonsepsi yang lazim ditemui di masyarakat. Miskonsepsi ini menjadikan sekolah sebagai tumpuan utama proses perubahan sikap generasi muda. Sekolah dianggap sebagai satu “bengkel” yang memproduksi sumber daya manusia dengan stadar yang sama pada lulusannya.

            Kenyataannya, keberadaan siswa di sekolah hanyalah sementara. Kurang lebih dari sepertiga hari yang dilalui siswa setiap harinya. Waktu para peserta didik lebih banyak dihabiskan di luar lingkungan sekolah. Dengan kata lain, mereka tentunya mendapatkan pengalaman yang berbeda selain dari pengalaman yang mereka dapatkan di sekolah.

            Miskonsepsi jenis ini mengakibatkan terlupakannya pendidikan dilembaga yang lainnya yang memiliki peran jauh lebih besar dan lebih utama dalam membentuk karakter. Sebut saja lembaga keluarga yang kehilangan fungsinya sebagai penempa pertama karakter, dan lembaga masyarakat yang kehilangan fungsinya sebagai kontrol.

Efek lainnya adalah melemahnya fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan dikarenaan adanya ambiguitas pola pendidikan di sekolah dengan lingkungan lainnya. Saat sekolah mengajarkan tentang kebersamaan dan gotong royong, di saat yang sama pula pasar mengajarkan persaingan dan saling menyingkirkan. Saat sekolah mengajarkan sopan santun dan norma, di saat yang sama pula para tokoh mempertontonkan hal-hal buruk.

Bagi guru yang terkena virus miskonsepsi ini hanya akan menjadikan sekolah sebagai satu-satunya tempat dimana mereka berlaku selayaknya seorang pendidik. Di luar lingkunga sekolah tidak sedikit guru yang menghabiskan waktunya di meja perjudian bahkan minum alkohol. Mereka tidak menyadari bahwa predikat pendidik yang mereka miliki akan senantiasa melekat padanya dimanapun mereka berada. Oleh karenanya sebagai pendidik harus mampu menempatkan diri dan bersikap selayaknya guru sekalipun tidak berada di lingkungan sekolah.

Miskonsepsi ini mendorong terjadinya komersialisasi dalam pendidikan. Bagi para orang tua akan berlomba mencari sekolah terbaik bagi putra-putrinya sekalipun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dengan harapan sekolah tersebut mampu membentuk karakter anaknya sebagaimana yang diinginkan. Namun, pada akhirnya para orang tua itu harus kecewa disebabkan tidak adanya perubahan pada anaknya sebab nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga tetap mendominasi nilai yang diajarkan di sekolah. Hal ini disebabkan pola pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga jauh berbeda dengan pola yang diterima siswa di sekolah.

Para orang tua hendaknya menyadari bahwa pembentukan karakter anak sejatinya dimulai dari lingkungan kecil yang disebut keluarga. Karenanya, pemenuhan kebutuhan akan pendidikan dalam keluarga harus juga menjadi perhatian utama para orang tua, bukan sekedar pemenuhan kebutuhan ekonomi semata.

3.    Guru dan Pemerintah merupakan Penanggungjawab Mutlak Pendidikan

Ketika ditanyakan kepada sebagian besar masyarakat tentang siapa yang bertaggungjawab terhadap masalah pendidikan, maka hampir seluruhnya dengan mudah menuding kepada guru dan pemerintah. Dengan berbagai alasan guru dengan mudah dipersalahkan semisal kemampuan yang rendah, mengajar tanpa memberikan contoh dan sebagainya. Dan dengan berbagai alasan pula pemerintah dipersalahkan atas rendahnya kualitas pendidikan, semisal sarana yang tidak memadai, kurangnya program pelatihan guru, serta kurikulum yang selalu berubah dan sebagainya.
Alasan-alasan tersebut memang benar adanya. Keberadaan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dilembaga pemerintahan maupun dari guru itu sendiri menyebabkan tidak sinerginya kerja-kerja yang berhubungan degan program pendidikan. Namun, permasalahan ini hanyalah masalah kecil apabila kesadaran akan tanggungjawab pendidikan bukan hanya terletak dipundak guru dan pemerintah semata.

Jika kita sepakat bahwa stakeholder pendidikan itu meliputi guru, siswa, sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah, maka seluruh stakeholder itu dituntut harus menjadi model bagi siswa yang sedang melakukan pembiasaan  tentang karakter bagi dirinya. Dengan demikian tidak terjadi lagi ambiguitas dalam dunia pendidikan ketika seluruh stakeholder turut andil sesuai porsi dan taggungjawabnya.


Demikian beberapa miskonsepsi dalam pendidikan yang menurut saya tumbuh subur di masyarakat saat ini. Miskonsepsi yang mempengaruhi kualitas pendidikan di negeri ini. Pendidikan bukanlah sekedar menghadirkan siswa di ruang-ruang kelas yang terbatas. Ia mencakup seluruh tempat berlangsungnya kehidupan sebab pendidikan adalah belajar tetang kehidupan. Pendidikan bukanlah sekedar jenjang SD hingga sarjana, melainkan setiap jenjang kehidupan semenjak kelahiran hingga akhir kehidupan. Setiap kita adalah pendidik dan setiap kita adalah peserta didik dalam kehidupan ini. 
Read More..

Jumat, 08 Mei 2015

Bukan Impian Kosong

Setiap impian itu
Harus diupayakan dalam bentuk tindakan.

Tindakan adalah cara terbaik
untuk membuktikan
Bahwa impian itu layak bagimu

Be Wise
Read More..

Rabu, 15 April 2015

SEBUAH CATATAN MENJELANG AKHIR TAHUN AJARAN

Ketika mengawas pada ujian akhir sekolah beberapa minggu lalu, saya memperhatikan lebih seksama para siswa satu-persatu, mencoba mengingat wajah-wajah mereka yang akan menyelesaikan pendidikannya dan meninggalkan lingkungan sekolah yang memberikan pengalaman bagi mereka tiga tahun terakhir.

Bagi saya sebagai guru, momen seperti ini merupakan peristiwa yang penuh dengan berbagai emosional. Di satu sisi, rasa haru dan gembira menyeruak mengingat kenangan tertentu yang telah dilalui bersama mereka. Mengigat masa-masa saat mereka belajar bersama saya dan kini akan menyelesaikan pendidikannya. Di sisi lainnya, saya merasa ketakutan tentang masa depan yang akan mereka hadapi. Sekalipun masa depan mereka tidak ada hubungannya dengan kehidupan saya, namun kekhawatiran itu tetap saja hadir.

Kekhawatiran saya sebenarnya beralasan mengingat pribadi mereka yang tidak juga tumbuh menjadi lebih dewasa sekalipun telah menempuh berbagai proses pembelajaran. Setelah menyelesaikan jenjang pendidikan atas, mereka akan menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Persaingan yang akan menghadapi bukanlah sebuah simulasi sebagaimana yang biasa mereka hadapi sebelumnya. Cukupkah bekal pengetahuan mereka menghadapi hal tersebut? cukupkah nasehat yang mereka serap?


Yah, lingkungan sekolah hanyalah miniatur kehidupan dan tempat mengumpulkan bekal dan berlatih menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Jika mereka tidak tumbuh dengan seharusnya, maka mereka tidak akan siap menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Tidak perduli mereka akan mendapatkan pekerjaan apa dan menjadi apa dalam kehidupan mereka. Bagi saya, selama mereka tidak menjadi pribadi buruk dan pribadi gagal maka hal tersebut sudah cukup menjadi pembahagia bagi saya.
Read More..

CORAT-CORET SERAGAM : SEBUAH BUDAYA ATAU LUAPAN EMOSI SESAAT?

Budaya corat-coret pasca ujian nasional sepertinya masih marak di negeri ini. Terlihat dibeberapa ruas jalan ramai dipenuhi arak-arakan siswa dengan seragam yang sudah penuh dengan ragam coretan cat. Tidak sedikit di antara mereka yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Bahkan, budaya ini bukan hanya dilakukan para siswa di jenjang pendidikan atas saja (SMA/SMK) melainkan telah terlihat diadopsi juga oleh mereka yang baru menyelesaikan jenjang pendidikan menengah pertama (SMP).

Beberapa hal sebenarnya telah dilakukan untuk mengurangi kebiasaan ini dengan melibatkan berbagai pihak. Mulai dari pengarahan oleh pihak sekolah hingga razia lalu lintas yang melibatkan kepolisian. Seperti tahun ini misalnya, jadwal akhir UN yang berbeda antara SMA (Rabu/dan SMK juga merupakan cara yang ditempuh agar “perayaan” corat-coret itu tidak melibatkan seluruh siswa yang ikut ujian secara bersamaan/serentak. Namun, upaya-upaya ini masih memberikan pengaruh yang kecil dibandingkan budaya yang entah sejak kapan mempengaruhi pemikiran para siswa tersebut.

Jika diperhatikan, corat-coret yang dilakukan para siswa semacam luapan emosional pasca menjalani ujian yang dianggap sebagai momok yang mengerikan dan penuh tekanan. Luapan emosional yang tidak terbendung inilah yang akan menghasilkan ekspresi yang terlampau bebas dan tidak mengindahkan norma yang berlaku di masyarakat. Seperti sebuah banjir bandang yang tentunya akan menyapu apa saja yang menghalangi dan tentunya meluap hingga melampai batas pinggiran sungai.

Salah satu cara yang mungkin layak dicoba untuk mengurangi budaya corat-coret ini adalah keaktifan pihak sekolah yang mengumpulkan para siswanya pada hari terakhir pelaksanaan UN. Dengan membuat sebuah kegiatan yang bersifat santai, menyenangkan diharapkan luapan emosional siswa dapat tersalurkan secara perlahan. Dalam kegiatan itu pula dapat digugah perasaan para siswa agar kiranya memilih kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat dalam meluapkan emosional mereka, misalnya melakukan kegiatan sosial menyumbangkan seragam mereka kepada yang memerlukan daripada melakukan corat-coret massal.

Terakhir, kepada para siswa yang tahun ini menyelesaikan pendidikannya di tingkat menengah atas, saya menasehatkan bahwa kenangan itu terletak pada ikatan emosi antar pribadi, bukan pada prasasti baju yang penuh dengan coretan. Baju yang dicoret mungkin hanya akan bertahan 5 tahun, namun ingatan akan kebersamaan mungkin akan kekal sepanjang hidup.


Be Wise.
Read More..

Sabtu, 11 April 2015

GENERASI BIJAK

Generasi bijaksana bukanlah generasi yang ikut-ikutan, melainkan generasi pemimpin yang mewujudkan masa depan yang gemilang

Bagi mereka, kebenaran adalah satu-satunya hal yang pantas diikuti. Jika tidak menemukannya, mereka akan menciptakannya dan memimpin di jalan itu.

Be Wise
Read More..

SURAT TERBUKA UNTUK ADIK PEREMPUANKU

Kaulah bunga yang belajar mekar
Pelihara dirimu dengan akhlak terpuji
Hingga kau menjadi pribadi teruji
Tidak melarut dalam aroma duniawi

Jangan relakan dirimu disentuh
Oleh cinta yang tiada utuh
Hingga ia halal bagimu
Dalam ikatan pernikahan

Jangan pula mudah kau gadaikan cintamu
Pada cinta yang pura-pura
Hingga mekarmu hanya di kuntum
Dan harumanmu hanya semusim

Saat tiada yang datang dalam penantianmu
Jangan pula kau gugurkan kelopakmu
Satu demi satu
Hingga dirimu rebah ke tanah
Yakinlah kau tetap memiliki cinta
Yang terpelihara dan abadi

Wahai adikku...
Rayulah cinta-Nya
Read More..

Rabu, 18 Maret 2015

KETIKA TERNYATA KITA TIDAK BELAJAR APAPUN DARI PENGALAMAN

Pengalaman adalah guru terbaik, demikian ungkapan yang selalu kita baca dan kita dengar. Apapun yang kita alami hari ini, sebagian besarnya adalah rangkaian dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Bahkan, kehidupan akhirat kita dihisab dari pengalaman kita di dunia.

Dalam memberikan pelajarannya, pengalaman tidak mengenal sudut objektivitas. Peristiwa keberhasilan maupun peristiwa kegagalan tetap memberikan pelajaran dengan kadar yang sama.
Pengalaman juga tidak mengenal subjektivitas. Ia bisa mengajarkan sesuatu meskipun pengalaman itu bukan bersumber dari pengalaman pribadi. Kita tetap masih bisa mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain.

Pengalaman juga mendahului pengetahuan. Dengan pengalaman kita bisa berpengetahuan, sedangkan yang berpengetahuan belum tentu memiliki pengetahuan.

Pengalaman memang sarat dengan hikmah dan pembelajaran. Namun, tidak semua berhasil lulus dari ujiannya. Mereka yang kita anggap telah banyak berpengalaman sekalipun dapat tergelincir jika tidak pernah memegang teguh dan mudah melupakan pelajaran dan hikmah dari pengalaman tersebut.

Jika rutinitas kita adalah buah dari pengalaman, sudahkah kita benar mengaturnya? Jika naik turunnya semangat kita adalah pengalaman, sudahkah kita memahami pengendaliannya? Jika amal ibadah kita adalah pengalaman, sudahkah kita berhasil mempertahankan kualitas dan kuantitasnya? Ketika pengalaman tak lagi mengajarkan apapun pada kita, maka tidak ada satupun yang bisa memperbaiki cara pandang kita terhadap kehidupan.

Sesungguhnya, pengalaman tidak akan pernah berhenti menjadi guru terbaik kita. Pengalaman tetaplah guru yang terbaik sebab dia tidak pernah memberikan pekerjaan rumah padamu dan tidak pula marah padamu meskipun engkau tidak mengerjakannya. Namun, pernahkah kita terfikir menjadi murid yang baik dan mengambil sebanyak-banyak pelajaran darinya?!

Be Wise.
Read More..

SAAT MENGUNJUNGI RS JIWA

Rohman menjenguk kerabat di RS-Jiwa. Seorang dokter menghampirinya untuk mengajak dia berbincang tentang segala hal, mulai dari bagaimana penanganan pasien hingga ke masalah-masalah umum dalam kehidupan Rohman.

Menjelang akhir pembicaraan, Rohman bertanya kepada dokter tersebut, “Dok, bagaimana caranya dokter menguji dan mengetahui kalau pasien-pasien masih gila atau sudah waras ?”

“Oh mudah saja, kami mengisi bak mandi dengan air sampai penuh, lalu kami suruh mereka mengosongkan bak mandi dengan memberikan pilihan menggunakan salah satu dari tiga alat berikut: Sendok Teh, Gelas, Gayung
"Pilih yang mana ?"
"Lalu kita minta dia untuk mengosong kan bak mandi”, jawab si Dokter.

“Oooh… kalau begitu saya pasti pilih gayung, soalnya paling gede dan cepat", kata Rohman

Terjadi keheningan sejenak . .

Lalu Dokter berkata, “Tidak, kalau orang itu sudah normal, dia akan cabut saja penyumbat bak mandi nya…"
Sejak itulah mas rohman dirawat . . .


Bagaimana dgn Anda…???
JUJUR YAH…BARUSAN PILIH GAYUNG JUGA KAN.?? Semoga lekas sembuh...
Read More..

HARAPAN DI UJUNG LAUT


            “Saat kau tak menemukan harapan di daratan. Pandanglah ke arah laut. Kau akan temukan harapan di ujungnya.”
            Lelaki paruh baya itu masih berdiri di bibir tangkahan. Memandang cakrawala menjingga yang menghantarkan burung-burung menuju sarangnya. Kulitnya yang hitam terlihat semakin mengilap manakala memantulkan sinar matahari senja kembali ke udara. Kedua kakinya menjejak teguh di atas papan tangkahan yang hampir lapuk. Tepat di hadapannya, sebuah perahu berukuran sedang bergoyang-goyang meningkahi riak ombak kecil yang menghampiri buritannya. Dengan setengah membungkuk, pandangannya kini seksama memperhatikan beberapa bagian perahu yang baru diperbaiki. Senyum di bibirnya menguraikan kepuasan pada hasil yang diperolehnya. Perahu itu kini telah siap menopang kehidupannya kembali.
         
  Seorang bocah lelaki kemudian terlihat menyusulnya. Langkah kakinya begitu hati-hati melewati beberapa kayu yang sudah terlihat tua. Memastikan terlebih dahulu bahwa keputusannya tepat untuk kemudian menjejakkan kaki dipermukaannya. Langkah langkahnya menghantarkan tepat disamping lelaki tersebut. Kehadirannya mampu mengalihkan perhatian sang Ayah dari perahunya.
            “Lihatlah, perahu ini telah gagah kembali. Dia telah siap membawa Ayah kembali ke laut.” Ujarnya seperti bergumam sembari menepuk pundak sang anak.
            Bocah itu hanya terdiam. Sedikit mendesah tapi tetap tak bersuara. Masih asyik dengan alam pikirannya. Wajahnya yang menengadah terlihat serius memperhatikan sang Ayah. Menikmati kerinduan seolah tidak ingin melewatkan satu detikpun kebersamaan bersama Ayahnya. Saat-saat yang jarang dimilikinya.
Seketika dia menarik nafas dengan dalam dan melepaskannya dengan setengah menghempas. Seakan merasakan beban yang demikian berat pada perpisahan yang telah bermain dalam angannya.
            “Mengapa Ayah begitu membanggakannya?” Bocah itu bersuara. Matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang ingin dimengertinya. Wajah lugunya menuntut jawaban dari sang Ayah demi kerinduannya. Sebab yang ia mengerti setiap kali Ayahnya melaut merupakan perpisahan baginya. Perpisahan yang selalu ingin dimengertinya sejak lama. Tak pernah ia mendapati Ayahnya di pagi hari sebab telah melepaskan tambatan perahu dan mengejar harapannya di laut saat lambungnya masih akrab di pembaringan. Ia masih terlelap kala itu. Dan tidak pula mendapatinya di malam hari karena Ayahnya pulang manakala ia telah kembali terlelap. Lama Ayahnya menghabiskan waktu di laut, menabur harapan-harapannya. Membawa isinya menepi, dan mempertaruhkan kehidupannya pada badai yang menyapa. Dia hanya senantiasa merasakan buaian dan senandung Ibunya. Senandung tentang kehidupan nelayan. Senandung tentang kecintaan pada laut dan harapan. Dan senandung tentang sang Ayah. Hingga perahu itu kembali berlabuh dan tertambat di tangkahan ini.
            “Perahu itulah yang akan menghantarkan Ayah pada harapan. Tiang-tiangnya adalah mimpi-mimpi Ayah. Di dalamnya bertumpu cinta, kehidupanmu dan Ibumu.” Lelaki itu menghela nafasnya. Dia sama sekali tidak berharap bocah disampingnya mengerti pada ucapannya. Tidak pula ingin berbagi kerinduannya. Guratan wajahnya memperlihatkan kehidupan sulit yang tengah dihadapinya, tidak menginginkan hal yang sama diwariskan pula pada putranya. Kehidupan sulit sebagai seorang nelayan. Hingga ia mengorbankan kerinduannya. Yang ia yakini bahwa kehidupannya telah ia gadaikan untuk keluarganya. Ia ingin putranya memiliki kehidupan yang lebih layak. Menyandang gelar pendidikan tinggi dan bekerja di gedung-gedung besar, dan tidak bergelut dengan ombak lautan. Setidaknya dia menginginkan anaknya tidak menjadi nelayan seperti dirinya. Bermain dengan kerinduan hanya akan menjauhkan harapan-harapan itu darinya.
            “Suatu saat, kau akan mewarisi harapan itu. Seperti Ayah yang harusnya mewarisi lebih dahulu.”
“Bagaimana jika aku tidak menginginkannya?” Lemah suara sang anak seolah bergumam pada dirinya sendiri.
“Harapan itu telah menjauhkan Ayah dariku.” Suaranya sedikit lebih berat. Nada kecewa jelas terdengar dari caranya bersuara. Bukan jawaban itu yang diinginkannya. Jawaban yang tidak menenteramkan kerinduan jiwanya pada kasih sayang sang Ayah. Hampir saja air matanya jatuh. Sekuat tenaga ia berusaha menahan perasaannya. Ia tak ingin terlihat lemah dihadapan Ayahnya sebagaimana Ayahnya yang menyembunyikan kerinduan padanya. Dia merasakan itu.
“Kau tidak mengerti, Irman. Usiamu masih terlalu muda untuk memahami harapan itu.” Suara Ayah melembut. “Kaulah harapan itu.”
“Laut hanya menjadi tempat di mana harapan itu tumbuh. Dan perahu hanya alat yang menghantarkan Ayah pada harapan-harapan itu. Sedang harapan itu tetap tinggal di sini. Kaulah harapan itu, Irman.” Wajahnya menatap lekat pada putranya. Berusaha menenteramkan kerinduan dua jiwa yang tengah berhadapan. Menanamkan keyakinan yang sama pada putranya. Mempertaruhkan kerinduan demi harapan-harapan yang masih dan selalu dirindukan. Harapan tentang kehidupan yang lebih layak di kemudian hari.
“Kelak, kaulah yang menggapai harapan itu. Tanamlah dimanapun kau ingin harapan itu tumbuh. Saat kau tak menemukannya di daratan. Pandanglah ke arah laut. Kau akan temukan di ujungnya.”
Lelaki paruh baya itu kembali menatap perahunya. Pandangannya menembus papan-papan perahu itu, hingga ke bibir pantai dan merdeka di laut lepas. Sedang sang bocah masih diam. Masih mencoba mengerti pada jawaban yang baginya masih menggantung…
*****
            Matahari sudah menampakkan sinar jingganya. Sedang aku masih berdiri di depan jendela menatap keluar rumah. Pandanganku terarah pada kandang ayam yang belakangan ini penghuninya semakin sedikit karena telah sering dijual untuk memenuhi kebutuhan kami. Dulu, Ayah selalu menyempatkan dirinya mengurus ayam-ayam itu di sela-sela waktunya sebagai nelayan, dan aku akan senantiasa menemani dan memperhatikan apa yang sedang dikerjakannya. Sesekali aku turut membantu mengambilkan barang-barang yang diperlukan Ayah.
            “Suatu saat, kau tidak perlu lagi mengurus ayam-ayam ini, Irman. Karena Ayah yakin kau akan bekerja di gedung yang besar dan megah.”
            “Belajarlah dengan rajin, hingga kau tidak perlu lagi merasakan berkubang dengan ayam atau terobang-ambing di lautan” demikian Ayah selalu berkata kepadaku. Kenangan itu terus bermain dalam pikiranku. Menyertakan kerinduan yang amat sangat pada sosok seorang Ayah.
Mungkin Ayah benar bahwa suatu saat aku tidak akan mengurus ayam-ayam itu karena ayam-ayam itu telah habis terjual. Tapi Ayah juga salah sebab aku tidak pula pernah mengecap pekerjaan sebagaimana yang diimpikan Ayah. Pekerjaan yang bisa mengangkat derajat kehidupan keluarga. Aku tidak pernah mendapatkannya. Kepergian Ayah memutuskan jenjang pendidikanku.
Angin yang berhembus lembut melalui rongga jendela menyapa wajahku. Kelembutannya mencoba menenangkan kegalauanku tentang keberlangsungan hidup kami. Aku memperhatikan ibu yang baru saja mengangkat jemuran. Pandanganku terus mengiringi langkahnya menuju dipan panjang di dapur rumah ini. Tempat biasa kami berkumpul dan bercanda saat-saat Ayah harus memperbaiki perahunya. Hingga ia duduk di bibir dipan itu dan membiarkan kakinya menjuntai menyentuh lantai. Aku masih tekun memperhatikan Ibu yang mulai memilah jemurannya.
            “Aku akan melakukannya, Bu.” Tekadku bulat. Keputusan itu harus ku ambil demi keberlangsungan hidup kami. Tanggungjawab kehidupan keluarga ini sekarang berada di tanganku, anak lelaki satu-satunya.
            “Tapi kau tidak pernah menginginkannya, Irman.” Ibu mencoba mencegahku. “Kau tidak pernah ingin mewarisi perahu itu, meskipun kini perahu itu menjadi milikmu.” Ibu menatapku sesaat, kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali. Tangannya yang sedikit keriput terlihat masih lincah memilah dan melipat pakaian yang baru diangkat dari penjemurannya. Sesekali tangan itu memperbaiki ujung selendangnya yang terjatuh karena lama menunduk, kemudian menyilangkan kembali selendang itu di kepalanya. Menampakkan lehernya yang semakin jenjang karena semakin kurus. Kesedihan masih tergurat di wajahnya. Kesedihan karena kehilangan suami sebagai penopang kehidupannya dan kehidupan kami anak-anaknya. Kehilangan yang hanya menyisakan aku yang hampir gagal menyelesaikan sekolah menengah atas serta dua adik perempuanku yang masih butuh biaya bersekolah.
            “Perahu itu telah kehilangan nakhodanya, Bu.”
            “Perahu itu telah lama tertambat. Membiarkan mesinnya berkarat, kayunya lapuk, dan jaringnya terkoyak. Perahu itu telah sekarat, Bu. Seperti kehidupan kita, Bu” cobaku meyakinkan Ibu.
            “Kau jual saja, dan kau bisa menggunakan uangnya untuk merajut harapanmu di sini, hingga kau tak perlu melaut.”
“Sejak kecil kau selalu mengatakan bahwa kau tidak ingin menjadi pelaut.”
            “Tidak, Bu. Perahu itu adalah harapan Ayah. Aku tak akan menjualnya. Sedang di sini, harapanku telah kandas karena keserakahan manusia.”
            Aku memang tidak pernah berhasil membangun impianku di daratan. Permukaannya terlalu keras untuk kuukir menjadi cerita manis kehidupanku meskipun telah berkali-kali kuwarnai dengan peluhku. Tanahnya tak mengijinkan untuk kumiliki walau sekedar untuk bercocok tanam, hanya sepetak rumah yang menyisakan sedikit halaman yang digunakan untuk menjemur pakaian dan kandang ayam seadanya.
            Pernah kucoba berdagang dengan modal seadanya. Namun harus berhadapan dengan kepicikan pedagang yang bermodal besar. Hanya beberapa waktu saja daganganku menjadi kenangan. Pernah pula kucoba mempertaruhkan ijazah yang kumiliki. Hasilnya sama saja. Semua pekerjaan yang kulamar mensyaratkan biaya administrasi yang tidak ada tercantum dalam persyaratan pelamaran dan tak pula bisa kupenuhi. Keserakahan manusia-manusia di daratan telah menyingkirkan kesempatan orang-orang yang terpinggirkan sepertiku. Hingga, aku terjepit diantara kebutuhan hidup yang harus kupenuhi. Akhirnya aku memilih untuk melanjutkan harapan-harapan Ayah di laut. Keputusan yang hingga saat ini belum mendapat restu Ibu.
            “Kau sama sekali belum mengenal laut, Irman.”
            “Laut memang terlihat indah tapi ombaknya dapat bergulung-gulung secara tiba-tiba. Langit birunya menyembunyikan awan hitam yang siap menjadi badai. Kau belum pernah menyapanya, hingga kau belum mengenalnya.” Ibu masih belum memberikan restunya atas keputusanku.
            “Tapi laut juga menyimpan harapan, Bu.”
            “Seperti Ayah, aku ingin menjemput harapan itu di sana. Aku hanya perlu memastikan perahuku kuat menembus ombak dan menahan badai, serta jaringku mampu mengangkat ikan-ikan ke atasnya. Aku hanya berhadapan dengan kehendak laut, dan bukan keserakahan manusia-manusia yang katanya berakal.” Aku mencoba memenangkan pilihanku di atas keraguan Ibu.
            “Khawatir Ibu kepadamu, Irman.” “Tanganmu akan kasar karena menebar jaringnya, mungkin juga akan tergores ketika mengangkatnya kembali. Kulitmu akan semakin hitam terbakar matahari.” Ibu terdiam sejenak.
“Kau upah saja orang lain melayarkan perahumu.”
            “Bu, Janganlah kecintaanmu menjadikan aku lemah menghadapi hidup, Bu.” Nada suaraku sedikit mengiba, berharap kali ini Ibu memberikan izin dan do’anya. Ibu hanya diam. Menghela nafasnya sesekali. Aku terus memperhatikannya dalam diamku. Tak ingin rasanya memaksakan inginku pada Ibu yang selama ini telah berpeluh untukku. Telah beberapa kali aku membicarakannya dengan Ibu, namun Ibu belum memberi restunya padaku.
Aku berdiam menunggu keputusan Ibu. Keputusan yang kuharap bukan keputusan kemarin. Ku lihat Ibu menghela nafas
            “Pergilah, Nak.” Suara Ibu pelan. “Tak pernah inginku mendidikmu dalam kelemahan. Jika inginmu melebihi kekhawatiranku, maka berangkatlah engkau.” Kata-kata Ibu semakin lemah bahkan hampir tak terdengar. Ia berusaha menyembunyikan kerisauannya dengan mengalihkan pandangannya. Sempat kulihat butiran bening menggenang di matanya sebelum ia sempat menunduk dan menyembunyikannya…
*****
            Wanita itu duduk termenung di bibir tangkahan. Kebiasaan yang akhir-akhir ini sering dilakukannya menjelang sore. Wajahnya menyimpan kisah sedih yang buram. Tanpa peduli pada beberapa pasang mata yang menatapnya iba. Dia akan senantiasa ke tangkahan itu. Tangkahan tempat harapannya tertambat. Tangkahan tempat ia melepas dua lelakinya. Suami dan anaknya yang hilang di ujung laut.
            Di tangkahan itu kemudian dia akan duduk menunduk. Mulutnya yang senantiasa bersenandung, kini lirih, menceracau tak menentu. Senandungnya hanya tentang kepedihan, bukan tentang laut dan nelayan. Senandungnya tentang kehilangan, bukan mimpi dan harapan. Hanya, kedua matanya kali ini tidak lagi menitiskan air mata. Mungkin telah habis beberapa hari yang lalu. Mungkin juga telah hanyut bersama pasang surut air laut. Hilang bersama kabar perahu anaknya yang pecah di tengah badai. Kabar yang membuat pikirannya galau, kalut dan mengguris pikirannya. Hingga kemudian dia berlari ke bibir tangkahan dan meraung di sana. Sejak itu, dia senantiasa ke tangkahan menjelang matahari terbenam. Hingga anak gadisnya menjemputnya pulang dari tangkahan itu…
*****


Read More..