Ketika mengawas pada ujian akhir
sekolah beberapa minggu lalu, saya memperhatikan lebih seksama para siswa
satu-persatu, mencoba mengingat wajah-wajah mereka yang akan menyelesaikan
pendidikannya dan meninggalkan lingkungan sekolah yang memberikan pengalaman
bagi mereka tiga tahun terakhir.
Bagi
saya sebagai guru, momen seperti ini merupakan peristiwa yang penuh dengan
berbagai emosional. Di satu sisi, rasa haru dan gembira menyeruak mengingat
kenangan tertentu yang telah dilalui bersama mereka. Mengigat masa-masa saat
mereka belajar bersama saya dan kini akan menyelesaikan pendidikannya. Di sisi
lainnya, saya merasa ketakutan tentang masa depan yang akan mereka hadapi.
Sekalipun masa depan mereka tidak ada hubungannya dengan kehidupan saya, namun
kekhawatiran itu tetap saja hadir.
Kekhawatiran
saya sebenarnya beralasan mengingat pribadi mereka yang tidak juga tumbuh
menjadi lebih dewasa sekalipun telah menempuh berbagai proses pembelajaran.
Setelah menyelesaikan jenjang pendidikan atas, mereka akan menghadapi kehidupan
yang sebenarnya. Persaingan yang akan menghadapi bukanlah sebuah simulasi
sebagaimana yang biasa mereka hadapi sebelumnya. Cukupkah bekal pengetahuan mereka
menghadapi hal tersebut? cukupkah nasehat yang mereka serap?
Yah,
lingkungan sekolah hanyalah miniatur kehidupan dan tempat mengumpulkan bekal
dan berlatih menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Jika mereka tidak tumbuh
dengan seharusnya, maka mereka tidak akan siap menghadapi kehidupan yang
sebenarnya. Tidak perduli mereka akan mendapatkan pekerjaan apa dan menjadi apa
dalam kehidupan mereka. Bagi saya, selama mereka tidak menjadi pribadi buruk
dan pribadi gagal maka hal tersebut sudah cukup menjadi pembahagia bagi saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar