Dalam pembelajaran tidak jarang
terjadi peristiwa miskonsepsi, yaitu peristiwa dimana para peserta didik salah
memahami konsep ilmiah yang diajarkan sebagaimana mestinya. Miskonsepsi pada
umumnya terjadi disebabkan kesalahan pada pembelajaran sebelumnya atau
kesalahan yang berkaitan dengan prakonsepsi yang bersumber dari pikiran siswa
sendiri atas pemahamannya yang masih terbatas maupun dari pengalaman formal dalam
kehidupannya sehari-hari.
Miskonsepsi dapat terjadi dalam setiap
dimensi kehidupan, bukan hanya dalam proses pembelajaran. Miskonsepsi dapat
menjadi penyebab awal gagalnya sebuah kebijakan yang diambil. Boleh jadi
kebijakan yang diambil sebenarnya sudah benar, namun miskonsepsi dapat
menyebabkan arah kebijakan yang telah diambil keluar dari jalur yang
seharusnya.
Demikian halnya dalam dunia
pendidikan. Kompleksitas masalah dalam dunia pendidikan sekarang ini menurut
saya disebabkan adanya miskonsepsi dalam memahami pendidikan itu sendiri
sehingga mengaburkan persepsi yang terbentuk. Berikut adalah beberapa
miskonsepsi yang umum terjadi dalam dunia pendidikan saat ini :
1.
Pendidikan
adalah Pengajaran.
Sebagian besar masyarakat di
negeri ini memiliki anggapan dan persepsi bahwa pendidikan identik dengan
pengajaran. Proses pendidikan dianggap selesai apabila telah melalui proses
pengajaran yang ditandai dengan transfer ilmu yang kemudian diukur dengan
pelaksanaan ujian. Kemudian hasil pendidikan itu diterjemahkan kedalam
angka-angka dalam bentuk laporan hasil.
Mari lihat kembali definisi pendidikan
dalam KBBI. Menurut KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Penekanan
pada pengertian di atas adalah pada proses pengubahan sikap dan tata laku yang
bukan sekedar transfer pengetahuan. Dalam hal ini, sikap dan tata laku tidak
cukup hanya dengan penjelasan tentang pengertian-pengertian sikap itu sendiri
melainkan harus turut pula dengan contoh yang nyata dan hadir dalam proses
pengajaran dan pelatihannya. Penekanan hanya dalam pengajaran dan pelatihan
saja akan melupakan sisi keteladanan dan pembiasaan yang jauh lebih efektif dalam
proses pendidikan karakter.
Miskonsepsi
yang seperti ini menjadikan proses pendidikan tidak berjalan baik di sekolah.
Bagi guru yang telah terjangkit dengan virus miskonsepsi ini, akan memiliki
anggapan bahwa tugasnya hanya sebatas bagaimana menyampaikan materi pengajaran.
Dan untuk memperbaiki pengajarannya kemudian hari maka sang guru hanya perlu
menyiapkan kelengkapan mengajarnya saja. Akibatnya, guru akan kehilangan rasa
mendidik, dan melupakan nilai-nilai pengayoman dan pendekatan emosional serta
keteladanan saat mengajar peserta didiknya.
Di sisi
lain, miskonsepsi ini menyebabkan tuntutan pemerintah terhadap guru terkesan
hanya pada ranah pengajaran saja. Tuntutan atas kelengkapan mengajar seperti
prota, prosem, silabus dan RPP merupakan kelengkapan mengajar yang selalu
dijadikan ukuran terhadap kualitas mendidik guru. Padahal hal tersebut hanya
sebatas berkas yang pada kenyataannya banyak yang tidak diaplikasikan. Tuntutan
ini juga menambah tugas dan fungsi guru sebagai administrator pengajaran yang
hubugannya jauh sekali terhadap tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Bahkan,
tak jarang guru meninggalkan peserta didiknya hanya untuk memenuhi kelengkapan
mengajar tersebut. Lebih-lebih pada saat menjelang tunjangan sertifikasi
dikeluarkan.
Miskonsepsi
ini juga menjangkiti para orang tua. Hal ini terlihat dari tindakan sebagian
besar para orang tua dalam mendidik anaknya. Bagi orang tua yang berkemampuan
lebih, mereka akan memaksa anak-anaknya untuk mengikuti berbagai les tambahan. Jadwal
anak akan dipenuhi dengan kegiatan mengikuti les tambahan tersebut. lepas dari
les bahasa inggris langsung ikut les matematika dan sebagainya. Anak tidak lagi
memiliki waktu untuk mengembangkan diri sebagaimana keinginan dan bakatnya
sendiri. Sedangkan bagi orang tua yang tidak memiliki kemampuan lebih akan
terkesan tidak peduli sebab merasa tidak mampu memberikan pendidikan yang layak
bagi anaknya.
2.
Sekolah merupakan Satu-satunya Lingkungan Pendidikan
Adanya
anggapan bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat dimana terjadi proses
pendidikan juga merupakan miskonsepsi yang lazim ditemui di masyarakat. Miskonsepsi
ini menjadikan sekolah sebagai tumpuan utama proses perubahan sikap generasi
muda. Sekolah dianggap sebagai satu “bengkel” yang memproduksi sumber daya
manusia dengan stadar yang sama pada lulusannya.
Kenyataannya,
keberadaan siswa di sekolah hanyalah sementara. Kurang lebih dari sepertiga
hari yang dilalui siswa setiap harinya. Waktu para peserta didik lebih banyak
dihabiskan di luar lingkungan sekolah. Dengan kata lain, mereka tentunya
mendapatkan pengalaman yang berbeda selain dari pengalaman yang mereka dapatkan
di sekolah.
Miskonsepsi
jenis ini mengakibatkan
terlupakannya pendidikan dilembaga yang lainnya yang memiliki peran jauh lebih
besar dan lebih utama dalam membentuk karakter. Sebut saja lembaga keluarga
yang kehilangan fungsinya sebagai penempa pertama karakter, dan lembaga
masyarakat yang kehilangan fungsinya sebagai kontrol.
Efek
lainnya adalah melemahnya fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan dikarenaan
adanya ambiguitas pola pendidikan di sekolah dengan lingkungan lainnya. Saat sekolah
mengajarkan tentang kebersamaan dan gotong royong, di saat yang sama pula pasar
mengajarkan persaingan dan saling menyingkirkan. Saat sekolah mengajarkan sopan
santun dan norma, di saat yang sama pula para tokoh mempertontonkan hal-hal
buruk.
Bagi
guru yang terkena virus miskonsepsi ini hanya akan menjadikan sekolah sebagai
satu-satunya tempat dimana mereka berlaku selayaknya seorang pendidik. Di luar
lingkunga sekolah tidak sedikit guru yang menghabiskan waktunya di meja perjudian
bahkan minum alkohol. Mereka tidak menyadari bahwa predikat pendidik yang
mereka miliki akan senantiasa melekat padanya dimanapun mereka berada. Oleh karenanya
sebagai pendidik harus mampu menempatkan diri dan bersikap selayaknya guru
sekalipun tidak berada di lingkungan sekolah.
Miskonsepsi
ini mendorong terjadinya komersialisasi dalam pendidikan. Bagi para orang tua
akan berlomba mencari sekolah terbaik bagi putra-putrinya sekalipun harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dengan harapan sekolah tersebut mampu
membentuk karakter anaknya sebagaimana yang diinginkan. Namun, pada akhirnya
para orang tua itu harus kecewa disebabkan tidak adanya perubahan pada anaknya
sebab nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga tetap mendominasi nilai yang
diajarkan di sekolah. Hal ini disebabkan pola pendidikan yang ditanamkan dalam
keluarga jauh berbeda dengan pola yang diterima siswa di sekolah.
Para orang
tua hendaknya menyadari bahwa pembentukan karakter anak sejatinya dimulai dari
lingkungan kecil yang disebut keluarga. Karenanya, pemenuhan kebutuhan akan
pendidikan dalam keluarga harus juga menjadi perhatian utama para orang tua,
bukan sekedar pemenuhan kebutuhan ekonomi semata.
3.
Guru dan Pemerintah merupakan Penanggungjawab Mutlak
Pendidikan
Ketika ditanyakan kepada sebagian
besar masyarakat tentang siapa yang bertaggungjawab terhadap masalah
pendidikan, maka hampir seluruhnya dengan mudah menuding kepada guru dan
pemerintah. Dengan berbagai alasan guru dengan mudah dipersalahkan semisal
kemampuan yang rendah, mengajar tanpa memberikan contoh dan sebagainya. Dan
dengan berbagai alasan pula pemerintah dipersalahkan atas rendahnya kualitas
pendidikan, semisal sarana yang tidak memadai, kurangnya program pelatihan
guru, serta kurikulum yang selalu berubah dan sebagainya.
Alasan-alasan tersebut memang
benar adanya. Keberadaan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dilembaga
pemerintahan maupun dari guru itu sendiri menyebabkan tidak sinerginya
kerja-kerja yang berhubungan degan program pendidikan. Namun, permasalahan ini
hanyalah masalah kecil apabila kesadaran akan tanggungjawab pendidikan bukan
hanya terletak dipundak guru dan pemerintah semata.
Jika kita sepakat bahwa stakeholder pendidikan itu meliputi
guru, siswa, sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah, maka seluruh stakeholder itu dituntut harus menjadi
model bagi siswa yang sedang melakukan pembiasaan tentang karakter bagi dirinya. Dengan
demikian tidak terjadi lagi ambiguitas dalam dunia pendidikan ketika seluruh stakeholder turut andil sesuai porsi dan
taggungjawabnya.
Demikian beberapa miskonsepsi dalam
pendidikan yang menurut saya tumbuh subur di masyarakat saat ini. Miskonsepsi yang
mempengaruhi kualitas pendidikan di negeri ini. Pendidikan bukanlah sekedar
menghadirkan siswa di ruang-ruang kelas yang terbatas. Ia mencakup seluruh
tempat berlangsungnya kehidupan sebab pendidikan adalah belajar tetang
kehidupan. Pendidikan bukanlah sekedar jenjang SD hingga sarjana, melainkan
setiap jenjang kehidupan semenjak kelahiran hingga akhir kehidupan. Setiap kita
adalah pendidik dan setiap kita adalah peserta didik dalam kehidupan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar