Rabu, 20 Mei 2015

MISKONSEPSI DALAM PENDIDIKAN


Dalam pembelajaran tidak jarang terjadi peristiwa miskonsepsi, yaitu peristiwa dimana para peserta didik salah memahami konsep ilmiah yang diajarkan sebagaimana mestinya. Miskonsepsi pada umumnya terjadi disebabkan kesalahan pada pembelajaran sebelumnya atau kesalahan yang berkaitan dengan prakonsepsi yang bersumber dari pikiran siswa sendiri atas pemahamannya yang masih terbatas maupun dari pengalaman formal dalam kehidupannya sehari-hari.


Miskonsepsi dapat terjadi dalam setiap dimensi kehidupan, bukan hanya dalam proses pembelajaran. Miskonsepsi dapat menjadi penyebab awal gagalnya sebuah kebijakan yang diambil. Boleh jadi kebijakan yang diambil sebenarnya sudah benar, namun miskonsepsi dapat menyebabkan arah kebijakan yang telah diambil keluar dari jalur yang seharusnya.

Demikian halnya dalam dunia pendidikan. Kompleksitas masalah dalam dunia pendidikan sekarang ini menurut saya disebabkan adanya miskonsepsi dalam memahami pendidikan itu sendiri sehingga mengaburkan persepsi yang terbentuk. Berikut adalah beberapa miskonsepsi yang umum terjadi dalam dunia pendidikan saat ini :

1.    Pendidikan adalah Pengajaran.

         Sebagian besar masyarakat di negeri ini memiliki anggapan dan persepsi bahwa pendidikan identik dengan pengajaran. Proses pendidikan dianggap selesai apabila telah melalui proses pengajaran yang ditandai dengan transfer ilmu yang kemudian diukur dengan pelaksanaan ujian. Kemudian hasil pendidikan itu diterjemahkan kedalam angka-angka dalam bentuk laporan hasil.

Mari lihat kembali definisi pendidikan dalam KBBI. Menurut KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Penekanan pada pengertian di atas adalah pada proses pengubahan sikap dan tata laku yang bukan sekedar transfer pengetahuan. Dalam hal ini, sikap dan tata laku tidak cukup hanya dengan penjelasan tentang pengertian-pengertian sikap itu sendiri melainkan harus turut pula dengan contoh yang nyata dan hadir dalam proses pengajaran dan pelatihannya. Penekanan hanya dalam pengajaran dan pelatihan saja akan melupakan sisi keteladanan dan pembiasaan yang jauh lebih efektif dalam proses pendidikan karakter.

Miskonsepsi yang seperti ini menjadikan proses pendidikan tidak berjalan baik di sekolah. Bagi guru yang telah terjangkit dengan virus miskonsepsi ini, akan memiliki anggapan bahwa tugasnya hanya sebatas bagaimana menyampaikan materi pengajaran. Dan untuk memperbaiki pengajarannya kemudian hari maka sang guru hanya perlu menyiapkan kelengkapan mengajarnya saja. Akibatnya, guru akan kehilangan rasa mendidik, dan melupakan nilai-nilai pengayoman dan pendekatan emosional serta keteladanan saat mengajar peserta didiknya.

Di sisi lain, miskonsepsi ini menyebabkan tuntutan pemerintah terhadap guru terkesan hanya pada ranah pengajaran saja. Tuntutan atas kelengkapan mengajar seperti prota, prosem, silabus dan RPP merupakan kelengkapan mengajar yang selalu dijadikan ukuran terhadap kualitas mendidik guru. Padahal hal tersebut hanya sebatas berkas yang pada kenyataannya banyak yang tidak diaplikasikan. Tuntutan ini juga menambah tugas dan fungsi guru sebagai administrator pengajaran yang hubugannya jauh sekali terhadap tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Bahkan, tak jarang guru meninggalkan peserta didiknya hanya untuk memenuhi kelengkapan mengajar tersebut. Lebih-lebih pada saat menjelang tunjangan sertifikasi dikeluarkan.

Miskonsepsi ini juga menjangkiti para orang tua. Hal ini terlihat dari tindakan sebagian besar para orang tua dalam mendidik anaknya. Bagi orang tua yang berkemampuan lebih, mereka akan memaksa anak-anaknya untuk mengikuti berbagai les tambahan. Jadwal anak akan dipenuhi dengan kegiatan mengikuti les tambahan tersebut. lepas dari les bahasa inggris langsung ikut les matematika dan sebagainya. Anak tidak lagi memiliki waktu untuk mengembangkan diri sebagaimana keinginan dan bakatnya sendiri. Sedangkan bagi orang tua yang tidak memiliki kemampuan lebih akan terkesan tidak peduli sebab merasa tidak mampu memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya.

2.    Sekolah merupakan Satu-satunya Lingkungan Pendidikan
           
Adanya anggapan bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat dimana terjadi proses pendidikan juga merupakan miskonsepsi yang lazim ditemui di masyarakat. Miskonsepsi ini menjadikan sekolah sebagai tumpuan utama proses perubahan sikap generasi muda. Sekolah dianggap sebagai satu “bengkel” yang memproduksi sumber daya manusia dengan stadar yang sama pada lulusannya.

            Kenyataannya, keberadaan siswa di sekolah hanyalah sementara. Kurang lebih dari sepertiga hari yang dilalui siswa setiap harinya. Waktu para peserta didik lebih banyak dihabiskan di luar lingkungan sekolah. Dengan kata lain, mereka tentunya mendapatkan pengalaman yang berbeda selain dari pengalaman yang mereka dapatkan di sekolah.

            Miskonsepsi jenis ini mengakibatkan terlupakannya pendidikan dilembaga yang lainnya yang memiliki peran jauh lebih besar dan lebih utama dalam membentuk karakter. Sebut saja lembaga keluarga yang kehilangan fungsinya sebagai penempa pertama karakter, dan lembaga masyarakat yang kehilangan fungsinya sebagai kontrol.

Efek lainnya adalah melemahnya fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan dikarenaan adanya ambiguitas pola pendidikan di sekolah dengan lingkungan lainnya. Saat sekolah mengajarkan tentang kebersamaan dan gotong royong, di saat yang sama pula pasar mengajarkan persaingan dan saling menyingkirkan. Saat sekolah mengajarkan sopan santun dan norma, di saat yang sama pula para tokoh mempertontonkan hal-hal buruk.

Bagi guru yang terkena virus miskonsepsi ini hanya akan menjadikan sekolah sebagai satu-satunya tempat dimana mereka berlaku selayaknya seorang pendidik. Di luar lingkunga sekolah tidak sedikit guru yang menghabiskan waktunya di meja perjudian bahkan minum alkohol. Mereka tidak menyadari bahwa predikat pendidik yang mereka miliki akan senantiasa melekat padanya dimanapun mereka berada. Oleh karenanya sebagai pendidik harus mampu menempatkan diri dan bersikap selayaknya guru sekalipun tidak berada di lingkungan sekolah.

Miskonsepsi ini mendorong terjadinya komersialisasi dalam pendidikan. Bagi para orang tua akan berlomba mencari sekolah terbaik bagi putra-putrinya sekalipun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dengan harapan sekolah tersebut mampu membentuk karakter anaknya sebagaimana yang diinginkan. Namun, pada akhirnya para orang tua itu harus kecewa disebabkan tidak adanya perubahan pada anaknya sebab nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga tetap mendominasi nilai yang diajarkan di sekolah. Hal ini disebabkan pola pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga jauh berbeda dengan pola yang diterima siswa di sekolah.

Para orang tua hendaknya menyadari bahwa pembentukan karakter anak sejatinya dimulai dari lingkungan kecil yang disebut keluarga. Karenanya, pemenuhan kebutuhan akan pendidikan dalam keluarga harus juga menjadi perhatian utama para orang tua, bukan sekedar pemenuhan kebutuhan ekonomi semata.

3.    Guru dan Pemerintah merupakan Penanggungjawab Mutlak Pendidikan

Ketika ditanyakan kepada sebagian besar masyarakat tentang siapa yang bertaggungjawab terhadap masalah pendidikan, maka hampir seluruhnya dengan mudah menuding kepada guru dan pemerintah. Dengan berbagai alasan guru dengan mudah dipersalahkan semisal kemampuan yang rendah, mengajar tanpa memberikan contoh dan sebagainya. Dan dengan berbagai alasan pula pemerintah dipersalahkan atas rendahnya kualitas pendidikan, semisal sarana yang tidak memadai, kurangnya program pelatihan guru, serta kurikulum yang selalu berubah dan sebagainya.
Alasan-alasan tersebut memang benar adanya. Keberadaan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dilembaga pemerintahan maupun dari guru itu sendiri menyebabkan tidak sinerginya kerja-kerja yang berhubungan degan program pendidikan. Namun, permasalahan ini hanyalah masalah kecil apabila kesadaran akan tanggungjawab pendidikan bukan hanya terletak dipundak guru dan pemerintah semata.

Jika kita sepakat bahwa stakeholder pendidikan itu meliputi guru, siswa, sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah, maka seluruh stakeholder itu dituntut harus menjadi model bagi siswa yang sedang melakukan pembiasaan  tentang karakter bagi dirinya. Dengan demikian tidak terjadi lagi ambiguitas dalam dunia pendidikan ketika seluruh stakeholder turut andil sesuai porsi dan taggungjawabnya.


Demikian beberapa miskonsepsi dalam pendidikan yang menurut saya tumbuh subur di masyarakat saat ini. Miskonsepsi yang mempengaruhi kualitas pendidikan di negeri ini. Pendidikan bukanlah sekedar menghadirkan siswa di ruang-ruang kelas yang terbatas. Ia mencakup seluruh tempat berlangsungnya kehidupan sebab pendidikan adalah belajar tetang kehidupan. Pendidikan bukanlah sekedar jenjang SD hingga sarjana, melainkan setiap jenjang kehidupan semenjak kelahiran hingga akhir kehidupan. Setiap kita adalah pendidik dan setiap kita adalah peserta didik dalam kehidupan ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar