Minggu, 17 April 2016

PENDIDIKAN ETIKA DAN KECERDASAN DI DUNIA MAYA

Beberapa hari lalu kita dihebohkan dengan berita dan video tentang seorang siswi yang mengaku sebagai anak seorang jenderal ketika dihentikan dan ditegur oleh seorang polwan saat melakukan konvoi pasca selesai mengikuti Ujian Nasional tingkat SMA sederajat. Video yang kemudian diunggah berkali-kali itu mengundang banyak tanggapan dari para viewersnya. Namun, sebagian besar komentar yang ada justru berkesan membully siswi tersebut.

Kita semua sepakat bahwa arogansi yang ditunjukkan siswi tersebut adalah sebuah kesalahan. Namun perbuatan membully yang merendahkan orang lain juga tidak dapat dibenarkan. Apalagi di dunia maya yang cakupan dan efeknya jauh lebih besar daripada bullying secara langsung. Di dunia maya perilaku ini dipertontonkan dan dikonsumsi oleh khalayak yang jumlahnya jauh lebih banyak. Tidak ada batasan pasti yang mengatur siapa saja yang telah membaca kata-kata yang sifatnya bullying dalam komentar para viewers tersebut. Dan mungkin saja telah ada seseorang yang menggunakan komentar tersebut untuk menjatuhkan orang lain.

Dari rangkaian peristiwa ini setidaknya ada dua hal yang bisa jadi perhatian dan diambil sebagai pelajaran berharga untuk perbaikan sikap ke depan.

1. Pendidikan Etika
Sikap arogansi dan bullying yang merebak menjadi indikasi adanya kelemahan dalam pola pendidikan etika di kalangan remaja hari ini. Etika merupakan suatu sikap dan perilaku yang menunjukkan kesediaan dan kesanggupan seseorang secara sadar untuk mentaati ketentuan dan norma kehidupan yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat. Etika muncul dari kebiasaan, maka tidak bijak rasanya jika pendidikan etika hanya diserahkan kepada guru dan instansi pendidikan semata. Seluruh lapisan masyarakat bertanggungjawab atas pendidikan etika generasi penerus bangsa. Maka sejatinya pendidikan etika sudah dimulai dari keluarga. Pribadi yang berkarakter hanya bisa terlahir dari keluarga yang berkarakter pula.

Di samping itu, salah satu kebiasaan yang mulai hilang di tengah masyarakat sekarang ini adalah kebiasaan menegur orang yang melakukan kesalahan sekalipun kesalahan itu ada di hadapannya dan dilakukan oleh generasi muda. Para orang tua enggan menegur dengan alasan bahwa anak-anak itu bukanlah tanggungjawab mereka sebab tidak ada ikatan keluarga. Kebiasaan ini jelas melemahkan fungsi kontrol masyarakat terhadap etika generasi muda. Lihatlah betapa instansi kemasyarakatan seperti Masjid, Sekolah justru tidak mampu menghadapi kerusakan akhlak yang ada di sekelilingnya.

Kebiasaan saling menegur dan menasehati untuk memperbaiki kesalahan sudah selayaknya ditumbuhkan di masyarakat. Kebiasaan ini akan menjadikan generasi muda kita malu untuk berlaku tidak sesuai dengan etika masyarakatnya.

2. Kecerdasan di Dunia Maya
Segala sesuatu yang hadir di tengah-tengah kita menuntut kebijaksanaan dan ilmu dalam menyikapinya. Tidak terkecuali perlunya kebijaksanaan dalam bersosial media.

Sebuah kesalahan yang terpampang nyata di dunia maya tidak pula harus diikuti dengan kesalahan yang lain baik itu dalam komentar ataupun dishare secara jamak. Komentar yang menjustifikasi dan share yang massif tersebut secara tidak disadari seakan menutup kesempatan mereka yang bersalah untuk memperbaiki kesalahannya. Pelaku yang bersalah akan semakin terbebani menghadapi masyarakat dan memperbaiki sikapnya. Dalam keadaan seperti ini, kesalahan yang mereka lakukan ukurannya menjadi tidak berarti lagi dibandingkan hukuman dan beban mental yang mereka dapatkan.

Cerdas di dunia maya menjadi sebuah keharusan dalam menghadapi dunia digital saat ini. Tidak semua peristiwa harus dikomentari sebagaimana tidak semua peristiwa juga layak dishare. Berpikirlah terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan apapun. Be Wise.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar