Minggu, 14 Februari 2016

LIMA

Tubuh kurus itu terbaring di atas dipan yang terbuat dari papan usang dan tua. Di setiap sudutnya sudah dimakan rayap, lapuk dan menunggu ambruk. Ia masih meringkuk tanpa ragu akan jatuh dan tertusuk paku tajam berkarat menyebabkan luka bernanah, infeksi, tetanus, bahkan kematian. Tiada ragu terus merajut bunga tidur. Memasuki dimensi mimpi yang telah memenuhi labirin angan di siang hari. Tubuh itu meringkuk dibalik selimut lusuh yang juga usang.
Terdengar takbir yang mengagungkan asmaNya. Suara itu begitu dekat menggema dari surau yang hanya beberapa hasta dari batas dinding pembaringannya. Merdu dibawa hening angin pagi yang berbisik di celah daun jendela yang terusik. Menyeruak tabir-tabir keheningan malam yang membelai lelah. Namun, suara itu terasa begitu jauh memanggil-manggil bagi jiwa yang masih akrab dengan pembaringan. Seakan bersumber dari negeri tanpa nama. Menyapa daun telinga yang terbuka. Tapi mata masih juga terpejam menikmati peraduan.
Melenguh sesaat… Membuka mata sesaat…
Kemudian menarik selimut yang juga usang menutup tubuh yang hampir tinggal tulang. Tak butuh waktu lama untuknya terlelap kembali. Dan fajar berlalu bersama untaian kisah yang diawali dengan kealpaan dan ketidak sempurnaan.
*****
Embun telah lelah menyapa dedaun pohon dan rumput-rumput liar di tepi jalan. Menguap dan berlalu seiring pendaran cahaya dari timur yang menggantikan kehadiran malam. Tanpa citra sedikitpun dipermukaannya seolah ia tak pernah hadir di sana. Pendar cahaya itu menghamburkan hijaunya dedaunan yang masih bersemi dan yang kekuningan karena termakan usia, merangas atau bahkan terserang hama.
Bukan suara-suara yang membuat ia terjaga. Melainkan mentari yang sudah meninggi. Mengusik mata dengan sinarnya yang tajam. Menembus celah-celah dinding tepas yang belum juga terganti. Cahaya itu seolah membawa pesan dari penguasa alam. Mencoba menembus gelapnya hati yang mati. Bahkan, cahaya itu tanpa bekas dalam pekatnya.
“Huh…!” keluh kesah menyambut hari yang tak lagi pagi. Terusik istirahat yang selalu dirasa kurang. Namun perut telah meradang. Minta diisi sekalipun hanya dengan sepotong roti yang telah basi. Hidup di dunia masih tetap dianggap berarti. Sedang tidur panjang kematian dianggap hanya dongeng menakutkan yang diharap tak singgah dalam kenyataan.
*****
Tarikan nafas dan denyut nadi menghantarkan hari menuju siang. Tubuh itu kini berbaju lusuh di persimpangan dekat sebuah pasar dengan luka pura-pura. Menengadah tangan berharap sumbangan suka rela. Dengan wajah memelas, mengusik jiwa yang lalu-lalang. Tak ada yang peduli. Hanya sebahagian memandang sinis seperti najis. Sedang yang lain, berlalu tanpa melirik sedikitpun.
Umpatan sering kali terujar dari rongga antara dua bibirnya setiap kali jiwa-jiwa yang lalu lalang itu tidak mengulurkan tangan yang menggenggam recehan. Atau pada mereka yang melemparkan recehan pada kotak di depannya yang nilainya tidak lebih dari sebuah permen. Tentu saja setelah mereka semua berlalu. Lidahnya yang lentur menyempurnakan umpatan itu.
”Pelit!” ”Sombong!” ”Awas kalau aku yang jadi orang kaya!” berkali-kali terujar. Tapi, jiwa-jiwa yang lalu lalang itu tak juga peduli. Sebahagian bahkan mencibir dan menganggap dirinya gila. Semakin jelas pada guratan wajah-wajah mereka dan pandangan mereka yang menghinakan.
Matahari telah tergelincir sedikit menuju tenggelamnya. Gaung suara itu kembali terdengar. Memanggil-manggil dari menara yang tinggi. Dan dari menara yang dapat terlihat dari tempat duduknya. Menembus celah udara dan berbaur keramaian di sana. Merambat dengan kecepatan gelombang beriring kewajiban siang. Tetap ditanggapi sunyi dengan pura-pura menyibukkan diri. Sedang matahari sudah mulai ruku’ melewati pertengahannya.
Tubuh itu hanya berdiam diri tanpa ekspresi. Menyuarakan caci maki sebab  rezeki belum juga diberi. Entah dendam apa yang merasuk hingga suara itu dianggap tabu seolah berasal dari tempat yang jauh di negeri fatamorgana. Dibiarkan berlalu tanpa makna. Suara itu masih sahut-menyahut dari menara yang satu ke menara lainnya. Semakin ramai mewarnai suara yang telah ada. Berlomba dengan suara jiwa-jiwa yang masih terus saja berburu. Entah apa dan berada di mana. Jiwa-jiwa itu selalu hilang dibalik kepengecutan akan ketiadaan dan kehampaan. Ketakutan akan kematian dan kemiskinan.
Terik matahari tak lagi bersahabat. Menunjukkan kemarahannya pada jiwa-jiwa yang terlena. Menyengat masuk menusuk kulit. Memaksa pori terbuka lebih lebar, demi mengeluarkan butiran-butiran halus cairan dari dalam tubuh. Menguap seketika beriring dengan aroma khasnya keringat. Demikian dengan tubuh itu. Tetap bertahan di tepi jalan, di persimpangan dekat sebuah pasar. Meski tanpa atap dia terduduk. Hanya berkupiah tua yang disengaja terlihat kumal. Basah telah menoreh tanda di perban luka yang masih tetap pura-pura. Tetap menengadah tangan dengan erangan suara yang dibuat memelas. Seolah baru saja menghadapi kehidupan yang sangat menyedihkan.
Waktu tak ingin peduli pada hiruk-pikuknya dunia. Tak berhenti meski hanya satu kedipan mata atau satu detakan jantung sekalipun. Tetap melaju menambah jumlah tarikan nafas yang bernyawa di bumi. Menggenapkan hitungan usia dari detik hingga tahun. Menambah jumlah bilangan namun membalikkan kenyataan. Semakin mendekatlah kehidupan lain. Kehidupan abadi yang selalu terlupakan dan sengaja dilupakan. Jiwa-jiwa yang berlari belum juga menyadari akhir perjalanan. Hidup adalah pemberhentian sementara untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan baru dengan bekal yang bukan materi.
Tetap saja menyibukkan diri meskipun mentari mulai sedikit meredupkan teriknya. Mencoba menyentuh jiwa yang sama dengan kelembutan cahayanya. Mengingatkan kejayaan siang akan berlalu. Pun demikian usia, akan berlalu menuju senja. Mimpi esok belum tentu milik dunia.
Jiwa itu masih keras membatu. Atau mungkin telah terbang ke negeri seribu impian miliknya. Meninggalkan tubuhnya yang mematung tanpa mimik. Seakan hidup selamanya, dia memburu angannya secepat dia bisa. Tapi, takut akan kelelahan menjadikannya seorang yang berpangku tangan. Seiring dendam kesumat di hati, sebab asa tak pernah diraih. Bagaimana mimpi diraih sedang langkah tak pernah berpindah? Terlalu asyik berkeluh kesah sedang yang lain telah berpeluh darah. Hingga ia terhenyak.
Tubuhnya tak lagi tegak seperti saat usia terbilang muda. Kini setengah membungkuk dan tertatih. Fikirnya tak lagi setajam mata pahat di atas batu. Segera menghilang layak angin yang menyapa debu. Tapi dendam sudah pun berkarat dengan kadar yang pekat. Menjadi jamur pada hati yang hanya segumpal. Menjadikannya sakit dan kemudian merasakan hidup menjadi pahit.
Dia harus menyalahkan sesuatu. Tapi apa dan siapa? Dia tetap mencari-cari hingga lelah dan mengumpat takdir. Ya, takdir memang layak dipersalahkan. Atau yang menciptakan takdir? Baginya semua warna telah sama. Tetap hitam meski pedoman pernah diajarkan. Berpasrah dengan cara yang salah menjadikannya selalu bersumpah serapah.
”Tuhan tidak pernah adil kepadaku!” demikian ia selalu berbicara ke orang-orang di berbagai tempat dan saat yang ia miliki. Di pinggir-pinggir jalan dan di warung-warung kopi setelah hari menjelang malam. ”Dia hanya memilihkan jalan yang sulit bagiku.” tambahnya mendramatisir. Semakin beratlah timbangan kekecewaanya seiring berjalan usia.
”Bukankah memilih adalah pekerjaannya manusia?” sanggah seseorang kala itu yang terlihat bijaksana. ”Tuhan tetap memberikan dua pilihan dalam setiap kesempatan kita” imbuhnya kemudian. ”Kitalah yang selalu menutup mata pada salah satunya.”
”Tapi aku tidak pernah melihat siang pada hari-hari ku” Cobanya untuk membantah. Tak ingin dipermalukan di hadapan lainnya, meskipun tiada yang benar-benar memperhatikan pembicaraan keduanya. ”Mungkin hanya malam yang setia bersamaku.”
”Kaulah yang tidur terlalu lama, hingga ketika siang menyapa kau tidak melihat pendaran cahayanya. Cobalah untuk terjaga.” Nasehat bijak keluar dari bibir yang sama. Nasehat yang tentu saja dianggapnya sebagai penghinaan disebabkan kesombongan yang dipupuk dalam hatinya. Kesombongan yang dibiarkan subur dengan menolak kebenaran yang dihembuskan padanya.
”Atau kau yang menutup rapat dinding hatimu. Hingga tak satupun cahaya menembusnya.” cecar jiwa yang sama seolah merasa memenangkan pembicaraan sembari menyeruput kopi yang sudah berulang kali ditambahi air. Kemudian memberi tanda kepada pemilik warung untuk menambah lagi air setelah isi gelasnya mendekati setengah. Tentu saja tingkah ini menjengkelkan pemilik warung yang tidak bisa mambantah karena takut kehilangan pelanggan dan rezeki. Ketakutan yang sama dirasakan orang-orang yang duduk ramai di warungnya.
”Bagaimana dengan dirimu?” Dia mencoba menyerang balik. ” Kau hanya menjadi tubuh tua yang bergelut dengan bau busuk sampah  dan terik matahari”. Kali  ini dicobanya menguasai pembicaraan. ”Kau tidak menjadi orang yang bekerja di gedung megah dan bergelar yang terhormat. Tidak pula menjadi tubuh tua yang menikmati dana pensiun. Kau hanya menjadi seorang pemulung yang bau sampah. Adakah kau temukan siang dalam kehidupan seperti itu?” Dia benar-benar berupaya mengendalikan pembicaraan. Sedang tubuh yang di sampingnya perlahan merendah dalam duduknya. Tubuh yang semula tegak itu mulai menunduk, kemudian mengatakan ”Setidaknya aku tidak menjadi peminta seperti mu. Aku masih memiliki harga diri meski kehidupanku dalam keremangan senja. Tak sehitam kehidupanmu yang telah jauh dari ketundukan. Khawatirku hitam itu telah merasuk dan merusak hatimu”
Itulah akhir pembicaraan yang dilakoninya sore hari kemarin di sebuah warung di persimpangan pasar tersebut. Pembicaraan yang hanya mencari pembenaran, dan bukan kebenaran. Hanya menyisakan kerikil yang mengganjal dalam hatinya. Kerikil yang semakin tajam mengikis keberimanannya.
*****
            ”Razia!”. Tiba-tiba saja sebuah suara dari ujung jalan membuyarkan imajinya. Suara yang disusul dengan kericuhan di sepanjang jalan di persimpangan sebuah pasar. Dari arah sumber suara dia melihat beberapa petugas dengan sigap melompat dari mobil patroli, kemudian mulai memburu dan menangkapi rekannya sesama peminta di persimpangan itu. Sejumlah pedagang asongan yang berjualan di pinggiran jalan juga tak luput dari tindakan kasar petugas pamong yang berlindung di  balik sebuah perintah tugas. Pemandangan yang sempat terekam olehnya sebelum ia juga bergegas meninggalkan tempat ia terduduk.
            ”Razia gepeng!”. ”Razia pedagang!” teriak suara-suara. Entah menjawab pertanyaan siapa. Suara-suara itu kemudian berbaur dengan suara lainnya. Suara gerobak dagangan yang didorong pemiliknya yang ketakutan. Suara kaki-kaki yang berlari menyelamatkan diri. Suara detak jantungnya yang dirasa semakin kencang. Dan suara panggilan yang sama, yang siang tadi telah memanggil kini mengumandang kembali dari puncak-puncak menara yang masih terlihat dari persimpangan itu.
            Dia ikut berlari...
Hanya suara itu yang terus mengikuti dari menara satu ke menara lain seolah telah diatur untuk menyusul langkah kakinya yang tergesa. Suara itu terdengar semakin menjengkelkannya. Sedang dalam keadaan lapang suara itu begitu tabu baginya, mana pula saat tergesa seperti ini. Tentulah dia akan memilih menyelamatkan diri daripada harus berurusan dengan pegawai-pegawai berseragam atau menunjukkan ketakutannya pada pemilik panggilan itu.
            Dia masih berlari hingga dengan cepat lelah menghampiri kedua kakinya yang sudah renta. Hanya beberapa meter dari tempat duduknya semula. Kemudian memilih untuk berbaur dengan pejalan kaki lainnya hingga di sebuah tikungan ia berbelok ke dalam gang kecil dan memilih berdiam dan bersembunyi di balik dinding sebuah rumah. Berharap untuk tidak ditemukan siapapun di sana.
            Perutnya tiba-tiba berontak. Mengirim tanda untuk segera diisi. Perut yang belum disapa sebutir nasi pun semenjak pagi. Hingga, ia menyadari bahwa ia telah meninggalkan sesuatu dalam pelariannya. Kaleng tempat ia menerima uang belas kasihan orang padanya. Ia ingat dalam kotak itu sejumlah uang yang mungkin telah cukup baginya untuk menyambung hidup hari ini. Kaleng itu pasti tertinggal saat ia tergesa menyelamatkan diri dari kekejaman petugas yang melakukan razia.
            Perutnya kian mengiris. Suara-suara khas perut yang lapar mulai terdengar. Kedua tangannya diletakkan di perut. Dengan sedikit tekanan berharap dapat mengurangi rasa sakit yang ditimbulkannya. Keluar dari persembunyian berarti dia harus siap untuk tertangkap ke sekian kalinya. Dan setiap kali tertangkap, dia harus menyetor hasil mengemisnya pada hari itu untuk membebaskan diri. Itu juga setelah memberi cap jempol kirinya pada beberapa dokumen yang ia tidak mengerti untuk apa. Dia memilih diam...
*****
            Langit mulai memerah saat tubuh itu beranjak dari persembunyiannya. Menyusuri jalan menuju arah kembali ke persimpangan sebuah pasar. Tidak terlihat lagi tanda-tanda di tempat itu baru saja terjadi hiruk-pikuk. Tapi persimpangan itu masih saja ramai dengan orang-orang yang lalu-lalang.
Dia kembali ke persimpangan itu. Dari kejauhan dia melihat kaleng bekas biskuit miliknya. Masih berada di tempat semula. Semua yang berlalu-lalang sepertinya tidak memperhatikan keberadaan kaleng itu. Mungkin juga isinya yang recehan itu tidak terusik. Harapan itu membuatnya mempercepat langkah demi langkahnya. Ketergesaan menjadikannya tidak awas pada sekelilingnya. Pada para pejalan kaki, penyeberang jalan seperti dirinya, dan pada kendaraan yang melaju. Hanya beberapa langkah ia menyeberang, langkahnya kemudian disusul suara decitan ban yang dipaksa berhenti.
            ”Bruk!”
            Tubuh itu terlempar membentur pembatas jalan sebelum akhirnya terbaring dengan kepala yang mengucurkan darah dan suara mengerang. Peristiwa itu mengundang perhatian keramaian. Segera kerumunan terbentuk melingkari tubuh renta itu. Semua memandang iba, kasihan dan sedih.
            ”Bawa ke rumah sakit!” teriak sebuah suara.
            ”Pelan-pelan mengangkatnya!” teriak suara yang lain lagi
            ”Hati-hati!” imbuh yang lainnya.
            Suara-suara itu masih ia dengar seiring tubuhnya yang mulai diangkat. Kemudian suara itu mulai terdengar seperti dengungan yang tidak jelas ditelinganya. Perlahan menjadi gumaman yang menyertai suara lain yang kini menguasai pendengarannya. Suara yang mengagungkan pemilik waktu siang malam, dan peralihan diantara keduanya. Suara itu tetap mengudara dari menara-menara di sekitar pasar. Namun, sepertinya menara-menara itu masih kalah tinggi dari keangkuhan jiwa yang berdiam di tubuh luka itu. Suara itu tetap terabaikan seiring kesadarannya yang mulai menghilang...
*****
            Malam mulai merangkak. Hiruk-pikuk dunia masih hidup di beberapa sudut. Bahkan dintaranya baru memulai denyutnya. Tapi tidak di surau itu. Setelah suara itu dikumandangkan sebagai penanda kewajiban yang ke lima, sebuah pengumuman kematian menggema menyebutkan sebuah nama. Semua yang hadir saling menatap dan mencoba mengingat si pemilik nama. Dan, semua kemudian berlalu dan melupakan...

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar