Rabu, 18 Maret 2015

HARAPAN DI UJUNG LAUT


            “Saat kau tak menemukan harapan di daratan. Pandanglah ke arah laut. Kau akan temukan harapan di ujungnya.”
            Lelaki paruh baya itu masih berdiri di bibir tangkahan. Memandang cakrawala menjingga yang menghantarkan burung-burung menuju sarangnya. Kulitnya yang hitam terlihat semakin mengilap manakala memantulkan sinar matahari senja kembali ke udara. Kedua kakinya menjejak teguh di atas papan tangkahan yang hampir lapuk. Tepat di hadapannya, sebuah perahu berukuran sedang bergoyang-goyang meningkahi riak ombak kecil yang menghampiri buritannya. Dengan setengah membungkuk, pandangannya kini seksama memperhatikan beberapa bagian perahu yang baru diperbaiki. Senyum di bibirnya menguraikan kepuasan pada hasil yang diperolehnya. Perahu itu kini telah siap menopang kehidupannya kembali.
         
  Seorang bocah lelaki kemudian terlihat menyusulnya. Langkah kakinya begitu hati-hati melewati beberapa kayu yang sudah terlihat tua. Memastikan terlebih dahulu bahwa keputusannya tepat untuk kemudian menjejakkan kaki dipermukaannya. Langkah langkahnya menghantarkan tepat disamping lelaki tersebut. Kehadirannya mampu mengalihkan perhatian sang Ayah dari perahunya.
            “Lihatlah, perahu ini telah gagah kembali. Dia telah siap membawa Ayah kembali ke laut.” Ujarnya seperti bergumam sembari menepuk pundak sang anak.
            Bocah itu hanya terdiam. Sedikit mendesah tapi tetap tak bersuara. Masih asyik dengan alam pikirannya. Wajahnya yang menengadah terlihat serius memperhatikan sang Ayah. Menikmati kerinduan seolah tidak ingin melewatkan satu detikpun kebersamaan bersama Ayahnya. Saat-saat yang jarang dimilikinya.
Seketika dia menarik nafas dengan dalam dan melepaskannya dengan setengah menghempas. Seakan merasakan beban yang demikian berat pada perpisahan yang telah bermain dalam angannya.
            “Mengapa Ayah begitu membanggakannya?” Bocah itu bersuara. Matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang ingin dimengertinya. Wajah lugunya menuntut jawaban dari sang Ayah demi kerinduannya. Sebab yang ia mengerti setiap kali Ayahnya melaut merupakan perpisahan baginya. Perpisahan yang selalu ingin dimengertinya sejak lama. Tak pernah ia mendapati Ayahnya di pagi hari sebab telah melepaskan tambatan perahu dan mengejar harapannya di laut saat lambungnya masih akrab di pembaringan. Ia masih terlelap kala itu. Dan tidak pula mendapatinya di malam hari karena Ayahnya pulang manakala ia telah kembali terlelap. Lama Ayahnya menghabiskan waktu di laut, menabur harapan-harapannya. Membawa isinya menepi, dan mempertaruhkan kehidupannya pada badai yang menyapa. Dia hanya senantiasa merasakan buaian dan senandung Ibunya. Senandung tentang kehidupan nelayan. Senandung tentang kecintaan pada laut dan harapan. Dan senandung tentang sang Ayah. Hingga perahu itu kembali berlabuh dan tertambat di tangkahan ini.
            “Perahu itulah yang akan menghantarkan Ayah pada harapan. Tiang-tiangnya adalah mimpi-mimpi Ayah. Di dalamnya bertumpu cinta, kehidupanmu dan Ibumu.” Lelaki itu menghela nafasnya. Dia sama sekali tidak berharap bocah disampingnya mengerti pada ucapannya. Tidak pula ingin berbagi kerinduannya. Guratan wajahnya memperlihatkan kehidupan sulit yang tengah dihadapinya, tidak menginginkan hal yang sama diwariskan pula pada putranya. Kehidupan sulit sebagai seorang nelayan. Hingga ia mengorbankan kerinduannya. Yang ia yakini bahwa kehidupannya telah ia gadaikan untuk keluarganya. Ia ingin putranya memiliki kehidupan yang lebih layak. Menyandang gelar pendidikan tinggi dan bekerja di gedung-gedung besar, dan tidak bergelut dengan ombak lautan. Setidaknya dia menginginkan anaknya tidak menjadi nelayan seperti dirinya. Bermain dengan kerinduan hanya akan menjauhkan harapan-harapan itu darinya.
            “Suatu saat, kau akan mewarisi harapan itu. Seperti Ayah yang harusnya mewarisi lebih dahulu.”
“Bagaimana jika aku tidak menginginkannya?” Lemah suara sang anak seolah bergumam pada dirinya sendiri.
“Harapan itu telah menjauhkan Ayah dariku.” Suaranya sedikit lebih berat. Nada kecewa jelas terdengar dari caranya bersuara. Bukan jawaban itu yang diinginkannya. Jawaban yang tidak menenteramkan kerinduan jiwanya pada kasih sayang sang Ayah. Hampir saja air matanya jatuh. Sekuat tenaga ia berusaha menahan perasaannya. Ia tak ingin terlihat lemah dihadapan Ayahnya sebagaimana Ayahnya yang menyembunyikan kerinduan padanya. Dia merasakan itu.
“Kau tidak mengerti, Irman. Usiamu masih terlalu muda untuk memahami harapan itu.” Suara Ayah melembut. “Kaulah harapan itu.”
“Laut hanya menjadi tempat di mana harapan itu tumbuh. Dan perahu hanya alat yang menghantarkan Ayah pada harapan-harapan itu. Sedang harapan itu tetap tinggal di sini. Kaulah harapan itu, Irman.” Wajahnya menatap lekat pada putranya. Berusaha menenteramkan kerinduan dua jiwa yang tengah berhadapan. Menanamkan keyakinan yang sama pada putranya. Mempertaruhkan kerinduan demi harapan-harapan yang masih dan selalu dirindukan. Harapan tentang kehidupan yang lebih layak di kemudian hari.
“Kelak, kaulah yang menggapai harapan itu. Tanamlah dimanapun kau ingin harapan itu tumbuh. Saat kau tak menemukannya di daratan. Pandanglah ke arah laut. Kau akan temukan di ujungnya.”
Lelaki paruh baya itu kembali menatap perahunya. Pandangannya menembus papan-papan perahu itu, hingga ke bibir pantai dan merdeka di laut lepas. Sedang sang bocah masih diam. Masih mencoba mengerti pada jawaban yang baginya masih menggantung…
*****
            Matahari sudah menampakkan sinar jingganya. Sedang aku masih berdiri di depan jendela menatap keluar rumah. Pandanganku terarah pada kandang ayam yang belakangan ini penghuninya semakin sedikit karena telah sering dijual untuk memenuhi kebutuhan kami. Dulu, Ayah selalu menyempatkan dirinya mengurus ayam-ayam itu di sela-sela waktunya sebagai nelayan, dan aku akan senantiasa menemani dan memperhatikan apa yang sedang dikerjakannya. Sesekali aku turut membantu mengambilkan barang-barang yang diperlukan Ayah.
            “Suatu saat, kau tidak perlu lagi mengurus ayam-ayam ini, Irman. Karena Ayah yakin kau akan bekerja di gedung yang besar dan megah.”
            “Belajarlah dengan rajin, hingga kau tidak perlu lagi merasakan berkubang dengan ayam atau terobang-ambing di lautan” demikian Ayah selalu berkata kepadaku. Kenangan itu terus bermain dalam pikiranku. Menyertakan kerinduan yang amat sangat pada sosok seorang Ayah.
Mungkin Ayah benar bahwa suatu saat aku tidak akan mengurus ayam-ayam itu karena ayam-ayam itu telah habis terjual. Tapi Ayah juga salah sebab aku tidak pula pernah mengecap pekerjaan sebagaimana yang diimpikan Ayah. Pekerjaan yang bisa mengangkat derajat kehidupan keluarga. Aku tidak pernah mendapatkannya. Kepergian Ayah memutuskan jenjang pendidikanku.
Angin yang berhembus lembut melalui rongga jendela menyapa wajahku. Kelembutannya mencoba menenangkan kegalauanku tentang keberlangsungan hidup kami. Aku memperhatikan ibu yang baru saja mengangkat jemuran. Pandanganku terus mengiringi langkahnya menuju dipan panjang di dapur rumah ini. Tempat biasa kami berkumpul dan bercanda saat-saat Ayah harus memperbaiki perahunya. Hingga ia duduk di bibir dipan itu dan membiarkan kakinya menjuntai menyentuh lantai. Aku masih tekun memperhatikan Ibu yang mulai memilah jemurannya.
            “Aku akan melakukannya, Bu.” Tekadku bulat. Keputusan itu harus ku ambil demi keberlangsungan hidup kami. Tanggungjawab kehidupan keluarga ini sekarang berada di tanganku, anak lelaki satu-satunya.
            “Tapi kau tidak pernah menginginkannya, Irman.” Ibu mencoba mencegahku. “Kau tidak pernah ingin mewarisi perahu itu, meskipun kini perahu itu menjadi milikmu.” Ibu menatapku sesaat, kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali. Tangannya yang sedikit keriput terlihat masih lincah memilah dan melipat pakaian yang baru diangkat dari penjemurannya. Sesekali tangan itu memperbaiki ujung selendangnya yang terjatuh karena lama menunduk, kemudian menyilangkan kembali selendang itu di kepalanya. Menampakkan lehernya yang semakin jenjang karena semakin kurus. Kesedihan masih tergurat di wajahnya. Kesedihan karena kehilangan suami sebagai penopang kehidupannya dan kehidupan kami anak-anaknya. Kehilangan yang hanya menyisakan aku yang hampir gagal menyelesaikan sekolah menengah atas serta dua adik perempuanku yang masih butuh biaya bersekolah.
            “Perahu itu telah kehilangan nakhodanya, Bu.”
            “Perahu itu telah lama tertambat. Membiarkan mesinnya berkarat, kayunya lapuk, dan jaringnya terkoyak. Perahu itu telah sekarat, Bu. Seperti kehidupan kita, Bu” cobaku meyakinkan Ibu.
            “Kau jual saja, dan kau bisa menggunakan uangnya untuk merajut harapanmu di sini, hingga kau tak perlu melaut.”
“Sejak kecil kau selalu mengatakan bahwa kau tidak ingin menjadi pelaut.”
            “Tidak, Bu. Perahu itu adalah harapan Ayah. Aku tak akan menjualnya. Sedang di sini, harapanku telah kandas karena keserakahan manusia.”
            Aku memang tidak pernah berhasil membangun impianku di daratan. Permukaannya terlalu keras untuk kuukir menjadi cerita manis kehidupanku meskipun telah berkali-kali kuwarnai dengan peluhku. Tanahnya tak mengijinkan untuk kumiliki walau sekedar untuk bercocok tanam, hanya sepetak rumah yang menyisakan sedikit halaman yang digunakan untuk menjemur pakaian dan kandang ayam seadanya.
            Pernah kucoba berdagang dengan modal seadanya. Namun harus berhadapan dengan kepicikan pedagang yang bermodal besar. Hanya beberapa waktu saja daganganku menjadi kenangan. Pernah pula kucoba mempertaruhkan ijazah yang kumiliki. Hasilnya sama saja. Semua pekerjaan yang kulamar mensyaratkan biaya administrasi yang tidak ada tercantum dalam persyaratan pelamaran dan tak pula bisa kupenuhi. Keserakahan manusia-manusia di daratan telah menyingkirkan kesempatan orang-orang yang terpinggirkan sepertiku. Hingga, aku terjepit diantara kebutuhan hidup yang harus kupenuhi. Akhirnya aku memilih untuk melanjutkan harapan-harapan Ayah di laut. Keputusan yang hingga saat ini belum mendapat restu Ibu.
            “Kau sama sekali belum mengenal laut, Irman.”
            “Laut memang terlihat indah tapi ombaknya dapat bergulung-gulung secara tiba-tiba. Langit birunya menyembunyikan awan hitam yang siap menjadi badai. Kau belum pernah menyapanya, hingga kau belum mengenalnya.” Ibu masih belum memberikan restunya atas keputusanku.
            “Tapi laut juga menyimpan harapan, Bu.”
            “Seperti Ayah, aku ingin menjemput harapan itu di sana. Aku hanya perlu memastikan perahuku kuat menembus ombak dan menahan badai, serta jaringku mampu mengangkat ikan-ikan ke atasnya. Aku hanya berhadapan dengan kehendak laut, dan bukan keserakahan manusia-manusia yang katanya berakal.” Aku mencoba memenangkan pilihanku di atas keraguan Ibu.
            “Khawatir Ibu kepadamu, Irman.” “Tanganmu akan kasar karena menebar jaringnya, mungkin juga akan tergores ketika mengangkatnya kembali. Kulitmu akan semakin hitam terbakar matahari.” Ibu terdiam sejenak.
“Kau upah saja orang lain melayarkan perahumu.”
            “Bu, Janganlah kecintaanmu menjadikan aku lemah menghadapi hidup, Bu.” Nada suaraku sedikit mengiba, berharap kali ini Ibu memberikan izin dan do’anya. Ibu hanya diam. Menghela nafasnya sesekali. Aku terus memperhatikannya dalam diamku. Tak ingin rasanya memaksakan inginku pada Ibu yang selama ini telah berpeluh untukku. Telah beberapa kali aku membicarakannya dengan Ibu, namun Ibu belum memberi restunya padaku.
Aku berdiam menunggu keputusan Ibu. Keputusan yang kuharap bukan keputusan kemarin. Ku lihat Ibu menghela nafas
            “Pergilah, Nak.” Suara Ibu pelan. “Tak pernah inginku mendidikmu dalam kelemahan. Jika inginmu melebihi kekhawatiranku, maka berangkatlah engkau.” Kata-kata Ibu semakin lemah bahkan hampir tak terdengar. Ia berusaha menyembunyikan kerisauannya dengan mengalihkan pandangannya. Sempat kulihat butiran bening menggenang di matanya sebelum ia sempat menunduk dan menyembunyikannya…
*****
            Wanita itu duduk termenung di bibir tangkahan. Kebiasaan yang akhir-akhir ini sering dilakukannya menjelang sore. Wajahnya menyimpan kisah sedih yang buram. Tanpa peduli pada beberapa pasang mata yang menatapnya iba. Dia akan senantiasa ke tangkahan itu. Tangkahan tempat harapannya tertambat. Tangkahan tempat ia melepas dua lelakinya. Suami dan anaknya yang hilang di ujung laut.
            Di tangkahan itu kemudian dia akan duduk menunduk. Mulutnya yang senantiasa bersenandung, kini lirih, menceracau tak menentu. Senandungnya hanya tentang kepedihan, bukan tentang laut dan nelayan. Senandungnya tentang kehilangan, bukan mimpi dan harapan. Hanya, kedua matanya kali ini tidak lagi menitiskan air mata. Mungkin telah habis beberapa hari yang lalu. Mungkin juga telah hanyut bersama pasang surut air laut. Hilang bersama kabar perahu anaknya yang pecah di tengah badai. Kabar yang membuat pikirannya galau, kalut dan mengguris pikirannya. Hingga kemudian dia berlari ke bibir tangkahan dan meraung di sana. Sejak itu, dia senantiasa ke tangkahan menjelang matahari terbenam. Hingga anak gadisnya menjemputnya pulang dari tangkahan itu…
*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar