“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah
sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun
orang-orang beriman sangat besar cintanya kepada Allah…” (Al-Baqarah : 165)
“Horee…!”
mungkin demikian teriakan beberapa remaja menjelang pertengahan bulan pebruari,
pun tak terkecuali dengan remaja islam. Sebenarnya, ada apa sich dengan bulan
pebruari?!.
Bulan pebruari
hakikatnya sama seperti bulan-bulan lainnya, hanya saja pada bulan tersebut terdapat
satu tanggal istimewa yang disepakati (pada umumnya karena ikut-ikutan) oleh
orang-orang yang mengaku sebagai pemuja cinta (lebih tepatnya pemuja “mabuk kepayang”) sebagai hari “kasih sayang”.
Yup… apalagi kalau bukan hari valentine yang dianggap jatuh pada setiap tanggal
14 pebruari (artinya, hari selain tanggal 14 pebruari adalah sebagai hari yang
tidak membutuhkan kasih sayang).
Pada hari
valentine, cinta yang sejatinya menjadi hak banyak orang menjadi hal yang
dikerdilkan dan disempitkan maknanya. Dia hanya menjadi barang “eksklusif”
milik remaja putra dan putri yang berstatus calon pacar atau pacar. Hari
valentine biasa dipilih menjadi waktu yang istimewa untuk “nembak” cewek atau cowok gebetannya, atau bagi yang sudah
berstatus pacaran, hari valentine dijadikan momentum untuk menunjukkan besarnya
kasih sayang yang dimilikinya pada sang pacar dalam berbagai bentuk tindak
nyatanya, mulai dari sekedar memberi kado, membelikan coklat, hingga memenuhi permintaan sang pacar untuk
melakukan zina…Na’udzubillahi min dzalik…
Yuks… Kita Obok-Obok sejarah Valentine…
Sebenarnya ada
banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul dari Valentine’s Day,
namun pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang
dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap
tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Peringatan hari besar ini
dirayakan untuk menghormati Juno (Tuhan Wanita) dan Perkawinan, serta Pah
(Tuhan dari Alam). pada saat itu digambarkan orang-orang muda (laki-laki dan
wanita) memilih pasangannya secara diundi, kemudian mereka bertukar hadiah
sebagai pernyataan cinta kasih. Dengan diikuti berbagai macam pesta dan
hura-hura bersama pasangannya masing-masing.
Perayaan
Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18
Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish
love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama–nama gadis di
dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang
namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan
obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia
dari gangguan serigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan
kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu
akan membuat mereka menjadi lebih subur.
Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama negara di Roma,
penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan
mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis
dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara
pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih
mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan
upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint
Valentine’s Day untuk menghormati St.Valentine yang kebetulan mati pada 14
Februari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998).
The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St.
Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang
di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian
tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan
kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber
mengisahkan cerita yang berbeda. Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II
memerintahkan menangkap dan memenjarakan St.
Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah
tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu
menulis surat
dan menaruhnya di terali penjaranya.
Versi kedua
menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih
tabah dan kuat dalam medan
peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk
menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda
sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat:
TheWorld Book Encyclopedia , 1998). Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu
sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the
Duke of Orleans dipenjara di Tower of London , pada perayaan hari gereja mengenang
St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis.
Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin
burung dalam puisinya (lihat: TheEncyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The
World Book Encyclopedia, 1998).
Lalu bagaimana
dengan ucapan “Be My Valentine?”. Ken Sweiger dalam artikel Should Biblical
Christians Observe It?” mengatakan
kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang
Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus,
tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita
meminta orang menjadi “to be my Valentine”. Dalam Islam hal ini tentu termasuk
Syirik, artinya menyekutukan Allah. Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi
bersayap dengan panah, adalah putra Nimrod, the hunter (dewa Matahari). Disebut
tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina
dengan ibunya sendiri!
Nah… sudah
tahu kan
sejarah hari valentine? Dari sejarahnya kita mengetahui bahwa perayaan atau
merayakan valentine bukanlah berasal dari ajaran Islam, melainkan kebudayaan
Romawi yang diberi nilai-nilai ke“nasrani”an. Di saat kita marah kebudayaan
negara kita diadopsi oleh negara lain…eh, di saat yang sama ternyata kita juga
mengadopsi kebudayaan orang lain, bahkan tidak tanggung-tanggung, kebudayaan
agama yang menyangkut keyakinan dan cara hidup.
Padahal
Rasulullah SAW sdh mengingatkan dalam haditsnya :
“Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia
termasuk kaum (agama) itu"
Jadi, masih mau merayakan valentine…?
Cinta memang
absurd. Tidak ada yang benar-benar mampu mendefenisikan secara mutlak makna
cinta, sebab cinta bukanlah sesuatu yang sekedar didefenisikan belaka,
melainkan sesuatu yang indah bila dirasa, dan tenang saat ia menyapa.
Cinta
sebagaimana fitrahnya merupakan anugerah dan cinta juga musibah. Cinta menjadi
kenikmatan bila karena Allah dan dijalan-Nya (Al-Hubb Fillah wa Lillah). Cinta
islami demikian tidaklah mengenal batas ruang dan waktu serta melampaui batas
fisik materi. Cinta yang fitri kata orang bijak adalah buah yang tak mengenal
musim dan dapat dipetik oleh siapa pun. Cinta yang demikian tak jadi masalah
kepada siapa dan seberapa besar asalkan karena Allah dan dijalan-Nya. Inilah
rumus cinta suci segitiga dalam Islam; cinta proporsional (equilibrium love)
antara cinta kepada Allah yang tidak menelantarkan cinta kepada makhluk, dan
cinta kepada makhluk yang tidak melalaikan bahkan senantiasa dalam cinta kepada
Allah Sang Khalik.
Perasaan cinta
pada dasarnya sebuah kenikmatan. Betapa indahnya hidup yang dipenuhi cinta
sejati dan betapa sengsaranya hidup yang dipenuhi kebencian. Orang yang
dipenuhi semangat cinta yang suci mulia akan selalu merasa bahagia sebelum
orang lain bahagia sehingga mendorongnya untuk memiliki sikap tenang, damai,
puas dan ridha. Bahkan cinta merupakan energi dahsyat kehidupan yang mengilhami
Lao Tzu, filsuf Cina yang hidup sekitar abad ke-6 SM untuk merangkai kata
mutiara bahwa dicintai secara mendalam oleh seseorang akan memberimu kekuatan,
dan mencintai seseorang secara mendalam akan memberimu keberanian. Demikian
Plato filsuf Yunani kuno juga berkesimpulan bahwa cinta adalah sumber keindahan
sehingga dengan sentuhan cinta setiap orang dapat menjadi pujangga.
Mabuk asmara sebagaimana
dikatakan filosof Plato merupakan cinta buta yang bergelora dalam jiwa yang
kosong. Aristoteles juga berujar: “Cinta buta adalah cinta yang buta untuk
melihat kesalahan orang yang dicintai. Cinta buta adalah kebodohan yang
membalikkan hati yang hampa, sehingga ia tidak lagi mau memikirkan yang lain.”
Oleh karena itu perlu manajemen cinta untuk menghindarkan ekses negatif dan
efek kegilaan cinta yang menjurus kepada cinta buta yang sangat berbahaya
sebagaimana dilukiskan penyair Qais: “Kau gila karena orang yang kau cinta.
Memang cinta buta itu lebih parah dari gila. Orang tidak bisa sadar karena
cinta buta, sedang orang gila bisa terkapar tak berdaya”. Bahkan yang lebih
parah lagi bila cinta menghanyutkan seseorang sehingga melupakannya dari
prioritas cinta lainnya seperti melupakan ataupun menduakan cinta kepada Allah
yang dapat berakibat syirik.
Cinta memang
persoalan hati (qalbu) dan hati seperti namanya adalah bersifat labil
(yataqallabu) sehingga yang diperlukan adalah upaya maksimal lahir batin dalam
pengendaliannya secara adil untuk setiap yang berhak atasnya.
Melalui proses
manajemen dan pengendalian cinta, seseorang dapat menjadikan perasaan cinta
sebagai motivasi kontrol dalam kerangka kebajikan dan kemuliaan. Inilah esensi
pesan Risalah Islam mengenai Alhubb wal Bughdhu fillah (Cinta dan benci karena
Allah) sehingga kita tidak akan termakan oleh doktrin sinetron yang menyesatkan
seperti sinetron “Kalau cinta jangan marah”. Hal itu karena kemarahan dalam
perspektif manajemen cinta merupakan kelaziman cinta sejati yang diekspresikan
dalam bentuk yang arif bijaksana tanpa keluar jalur syariat sebagaimana
kemarahan Nabi SAW diungkapkan dalam bentuk ekspresi perubahan mimik muka,
diam, atau isyarat lainnya sebagai peringatan yang selanjutnya diberikan
penjelasan dan dialog dari hati ke hati. Karenanya, beliau tidak menyukai
lelaki yang suka memukul wanita bila marah apalagi sampai menampar wajah.
Sebaliknya beliau juga tidak menyukai wanita yang meninggalkan atau
mengkhianati suaminya bila sedang marah.
Manajemen
cinta akan menumbuhkan sikap adil dalam cinta yang membawa hidup sehat dan
seimbang (tawazun) dan bukan menjadi sumber penyakit sebagaimana Ibnul Qayyim
sampaikan bahwa cinta bagi ruh sama dengan fungsi makanan bagi tubuh. Jika
engkau meninggalkannya tentu akan membahayakan dirimu dan jika engkau terlalu
banyak menyantapnya serta tidak seimbang tentu akan membinasakanmu. Kelezatan
hidup inilah yang dilukiskan dalam hadits tentang kelezatan iman:
“Ada tiga perkara yang
siapa pun memilikinya niscaya akan merasakan kelezatan iman; barang siapa yang
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari lainnya, barang siapa yang mencintai
seseorang hanya karena Allah, dan siapa yang benci kembali kepada kekafiran
sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Manajemen
cinta mengajarkan agar perasaan cinta kepada seseorang tidak menghalangi kita
untuk tetap melakukan segala hal yang semestinya kita kerjakan. Sehingga kita
tidak akan melakukan ataupun meninggalkan segala hal demi rasa cinta ataupun
mendapatkan cinta dari orang yang kita cintai meskipun hal itu bertentangan
dengan kemaslahatan (kebaikan) dirinya, membahayakan orang lain dan menimbulkan
kerusakan di muka bumi atau memancing kemarahan Allah. Karena sikap demikian
merupakan cinta buta yang bodoh. Sebagai contoh seorang ibu yang begitu
memanjakan anaknya karena cintanya yang mendalam sampai melupakan pendidikan
dan pengajarannya yang pada gilirannya justru akan menjadi bumerang bagi orang
tuanya karena menjadi anak durhaka.
Seorang muslim
tidak mengenal cinta monyet, cinta buta, cinta dusta, cinta palsu dan cinta
bodoh. Ia hanya mengenal cinta suci mulia yang penuh kearifan dan kesadaran
yang melahirkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan meletakkan cinta tersebut
di atas segala-galanya sebagai tolok ukur cinta lainnya. Suatu ketika seorang
Arab badui menghadap Nabi saw dan menanyakan perihal datangnya kiamat, lalu
beliau balik bertanya: “Apa yang telah kau persiapkan?” Ia menjawab: “Cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya” Beliau menyahut: “Engkau bersama siapa yang kau
cintai” (HR. Bukhari dan Muslim)
Cinta karena
Allah dan benci karena Allah akan menjadi filter, kontrol sekaligus tolok ukur
dalam mencintai segala hal. Dengan demikian cinta yang tulus karena Allah Dzat
Maha Abadi inilah yang akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motif
lainnya justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan membuahkan
penyesalan. (QS. Az-Zukhruf: 43, Al-Furqan: 25).
Skala
prioritas cinta adalah hal yang niscaya dan semestinya diimplementasikan dalam
manajemen cinta agar tidak bertabrakan dan memberantakkan hubungan, karena
dalam hidup banyak hal yang harus dan secara fitrah kita cintai (QS. Ali Imran:
14). Sebagai ilustrasi ada baiknya kita sebutkan model prioritas cinta yang
pertama adalah cinta Allah dan Rasul-Nya yang berarti cinta Islam, aqidah,
syariat dan jihad fi sabilillah di atas segala-galanya. Kemudian cinta kepada
orang tua bagi anak lelaki dan bagi wanita yang belum menikah adapun wanita
yang sudah menikah kepada suami baru kepada orang tua. Lalu kepada istri dan
anak bagi lelaki dan seterusnya yang lebih bersifat materi, fasilitas fisik dan
civil efek serta pengakuan ataupun aktualisasi diri dalam konteks hubungan
sosial.
Wallahu a’lam bishawwaabb…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar